Penulis : Sherly Marselina Tri
Lorenza
Penyunting : Bela Margareta
Narasumber, Ayta Riana saat sedang berada di sebuah
kafe di Putussibau
(Sumber:
Dokumen Narasumber)
Nanga Dangkan, 30 April 2020
Semilir angin
menyelimuti ketika saya manyalakan mesin motor satria-F.
Gasnya dipacu
menuju desa seberang, desa yang merupakan tanah kelahiran, dan tempat di mana
kami menghabiskan masa kecil.
Tujuan ke desa
yang bernama Nanga Dangkan tersebut, tidak lain dan tidak bukan ialah ingin
menyambangi kediaman teman lama, teman masa kecil yang sampai hari ini kami
masih suka bermain bersama meski tidak sebandel dulu.
Sepanjang jalan
yang ditempuh saya berpikir sembari melihat jalan ke depan waspada akan adanya
batu atau jalan berlubang.
Saya memikirkan
pertanyaan-pertanyaan yang akan saya ajukan, dan memikirkan pula kira-kira
bagaimana jawabannya?
Perjalanan ditempuh
dengan melewati kawasan yang kami sebut pasar.
Di situ ada
toko-toko sembako, toko-toko bangunan, toko-toko pakaian, konter pulsa,
bengkel, hingga rumah makan.
Dari pasar itu berbelok
ke persimpangan sebelah kiri jika dari lajur rumah saya, menuju sebuah jembatan
yang baru saja rampung dibangun awal tahun 2020 ini. Bukan main, jembatan itu
diresmikan langsung oleh menteri PUPR Kabinet Indonesia Maju.
Menyebrangi
sungai.
Seketika
teringat bagaimana dulu kami mandi bersama ketika masih bocah dengan hanya
mengenakan singlet dan celana pendek, lalu mandi berjam-jam. Mata kami sampai
merah jika mandi kelamaan.
Tak terasa, akhirnya
tiba di depan dua buah rumah, dan saya memarkirkan motor di antara keduanya.
Dua buah rumah
itu, yang satunya berfondasikan kayu-kayu tua namun masih kokoh berdiri, dan
yang satunya kombinasi semen dan kayu, rumah baru ceritanya.
Rumah lama (Sumber: Dokumen Pribadi)
Rumah Baru (Sumber: Dokumen Pribadi)
Rumah yang
memiliki desain khas melayu pesisir yang memiliki kolong di bawahnya itu saya naiki,
ya, rumah yang baru itu.
Tidak lupa
salam saya ucapkan, dan terdengar jawaban salam dari arah dapur.
Sudah menjadi
kebiasaan di daerah kami masuk rumah orang tanpa perlu izin meski hingga ke
dapur, namun tetap memelihara sopan dan santun.
Dua kakak
beradik sedang menyiapkan bahan makanan rupanya.
Mereka
mengiris-iris bawang, memotong sayur-mayur, dan turut membuat takjil untuk
berbuka puasa nanti.
Ya, kunjungan
ini berlangsung pada bulan Ramadan ke rumah mereka.
Ayta dan
kakaknya, Meri kelihatannya sedang sangat sibuk. Namun, saya tahu
sesibuk-sibuknya mereka pasti sangat senang jika ada bahan obrolan yang
dijadikan topik berbincang.
Kesempatan itu
tidak mungkin disia-siakan.
Ayta sudah tahu
jika hendak diwawancarai, akan tetapi melihat mereka yang sedang bekerja di
rumah, tidak enak rasanya jika harus meminta ruang dan waktu khusus.
Dia mengenakan
baju Kicus, baju kebesaran geng kami saat SMA dulu.
Geng yang sejak
kelas sepuluh sudah bersaing dengan kakak kelas. Kami sering dihukum karena
kerap membuat ulah, seperti jajan pada saat jam pelajaran.
Ayta memiliki
perawakan yang cukup ayu, matanya bulat, badannya kurus, tinggi badannya tidak
jauh berbeda dengan saya. Sekitar 160-an cm.
Kulitnya
coklat, rambutnya keriting bergelombang.
“Kok hp mu foto
ponakanmu?” Ayta, ditolehnya gawai abang saya yang saya pinjam, musabab punya saya
sedang rusak.
Lantas saya
menjawab jika itu bukan milik saya..
Dia
memotong-motong wortel dengan ukuran sedang sambil bertutur.
Hal pertama
adalah cerita masa SD.
“Nyai nya Maya
dulu suka datang ke sekolah kalau kita yang satu bangku.” Begitu katanya sambil
tertawa kecil.
Saya duduk di
sebelahnya, agak sulit melihat ekspresi gadis itu.
Hal yang
dikenangnya sebenarnya adalah sebuah kesedihan, mereka yang dari segi moral dan
material kalah tentu kesulitan angkat bicara ketika yang mampu mulai membidik
panah.
Persoalan
bangku di kelas saja bisa menjadi masalah besar. Alhasil dia kerap mengalah.
Meski tak
diperkenankan untuk bicara juga, Meri menyambar.
Ia bercerita
tentang rumah keluarganya dulu yang berada benar-benar tepat di kaki bukit Sagu,
yang kalau kami bilang berada di darat.
Jika saja
terjadi longsor tengah malam, habislah bangunan dan nyawa penghuninya.
Saya kemudian
terbayang bentuk rumah itu yang kini tanahnya sudah dibangun rumah orang lain.
Ukurannya tidak lebih luas dari kos-kosan satu pintu di kota-kota besar saat
ini.
Hidup satu
kepala keluarga beserta istri dan dua anaknya kala itu.
“Kalau ingat
perjuangan bapak sama mamak dulu, beras saja kita kesulitan dapat untuk makan.
Tapi berkah tanah Kalimantan yang subur dan lebat. Sawah, kebun karet, keluarga
besar kami punya semua. Cuma ya, masih kecil mana tau apa-apa. Lepas bermain,
pulang ke rumah kalau tidak tinggal makan, atau minta ke rumah bibik di depan.”
Ceritanya rumah
mereka dulu dipunggungi rumah-rumah di depannya. Di pinggir hutan.
Bertahun-tahun
mereka tinggal di rumah itu, sampai akhirnya ada keluarga pedagang yang
memberikan rumahnya untuk keluarga Ayta.
Rumah itulah,
rumah lama yang berfondasi kayu di sebelah.
Ayta terus
menunduk sambil tetap berinteraksi dengan pisau dan sayur-mayur yang
dipotongnya. “Kamarnya satu dibagi dua, untuk bapak dan mamak dan untuk aku
sama kakak.”
Rumah itu dulu
sudah terbilang besar, akan tetapi kini sangat memprihatinkan.
Sedari SD
hingga SMA, kami sselalu belajar di kelas yang sama.
Entah, apakah
seerat itu persahabatan kami atau hanya kebetulan belaka?
Banyak hal yang
saya ketahui tentang dia, tetapi ada pula yang tidak.
“Almarhumah
mamakmu dulu garang. Sekarang anaknya sok jadi wartawan. Dulu kamu kan pemalu,”
Suasana mencair ketika tuturan itu dilontarkan Ayta.
Tulisan ini
bukan tentang saya, tetapi tentang dia. Saya berkata jangan bully saya dulu
sebelum saya selesai merekam percakapan kami karena nanti mau ditulis.
Di sekolah,
Ayta mengatakan jika dirinya bukanlah siswa yang terbilang pintar, tetapi
diakuinya jika dia adalah anak yang rajin.
Bukan rajin
belajar, hanya rajin mengerjakan tugas.
Dia kembali
menggoda saya dengan memberikan memori bagaimana dulu saya suka meminjam
catatannya untuk disalin sebab saya yang malas mencatat ketika di kelas.
“Demi tetap
sebangku, kursi meja kongsi bertiga pun tidak apa kalau dulu,” dengan perlahan
dia menoleh ke kiri ke arah saya untuk berkata begitu.
“Orang tua dulu kalau nyuruh anaknya belajar
hanya menyuruh, tidak pernah digerakkan betul-betul. Makannya banyak yang degil.”
Degil itu istilah
dalam bahasa Melayu yang artinya tidak bisa ditegur.
“Udahlah
keluarga hidup susah, anak pun pintar pintar bodoh,” mendengar itu Meri
tertawa.
Untungnya
sekolah di sini dulu belum memberlakukan SPP setiap bulan, hanya ketika mulai
kelas sebelas SMA saja.
Ayta bisa tetap
bersekolah dengan nyaman dan terbuka.
“Waktu SMP
kelas A. SMA kan kita angkatan percobaan ya, sepuluh MIA setengah semester,
abis itu kelas tanpa jurusan lagi. Kelas sebelas sampai lulus, Alhamdulillah
IPA.”
Saya berpindah
posisi duduk menjadi di depan kiri Ayta, supaya dapat melihat raut wajahnya
ketika bercerita.
Dia melanjutkan
kenangnya, kalau kami dulu dibekali uang sekolah lima ribu maka dia bisa sama,
tetapi jika bekal kami sepuluh ribu, dia tetap separuhnya.
“Sarapan dulu
sebelum berangkat sekola supaya tidak cepat lapar. Kalu mau uang jajan banyak,
nabung dulu. Pas SD masih enak, harga semangkuk bakso Cuma dua ribu.”
Ayta menatap
saya dengan mata berbinar, bibirnya membuka dan dilebarkan memperlihatkan
gigi-giginya. Saya tidak mengerti itu senyum jenis apa.
“Kalau kawan
mengajak untuk membuat acara, saya pasti minta dikasihani sama kalian karena
kerap tidak bisa ikut patungan, tetapi pengen ikut buat acara.”
Anak-anak sini
jika ingin mengadakan makan-makan dengan membeli makanan yang sudah jadi atau
membuatnya sendiri, menyebut itu dengan istilah buat acara.
Biasanya
mengolah tepung terigu, air, daun kunyit, ikan teri atau udang ebi, menjadi
bakwan karena bahan dan memasaknya paling mudah.
Suara minyak
panas menyeruak, ada yang digpreng Meri rupanya sampai dapur yang kecil tu
dipenuhi suara khas dari dalam penggorengan.
Posisi duduk
saya kini kembali ke tempat semula karena bapaknya Ayta menegur jika saya
mengahalangi jalan.
Saya menanggapi
sambil tertawa kecil, berkata iya dan menurutinya.
Ayta dan Meri
hanya diam. Entah, apakah ada yang salah dengan tanggapan saya, atau itu hanya
diam biasa.
Ayta dan Meri
mengakui jika sebelum adik laki-laki mereka lahir, ekonomi keluarganya lega.
Namun, setelahnya bertambah lagi nyawa yang menjadi kewajiban orang tuanya,
bertambah lagi yang harus bersekolah.
Raut wajah Ayta
datar pas dirinya mengingat dulu ibunya pernah jadi buruh cuci demi mencukupi
kebutuhan keluarganya untuk hanya sekadar makan dan minum.
Ia teringat
bagaimana ibunya sempat menjadi bahan cercaan karena pekerjaannya itu.
Baginya, bisa
bersekolah saja sudah merupakan hal yang indah di balik latar belakangnya itu.
Hari semakin
sore, matahari mulai turun ke barat.
Tidak lama
keudian datang dua orang teman kami, Maya dan Novia.
Rasanya sudah
kumpul lengkap walaupun sebenarnya masih kurang Mega.
Tetapi, Mega
sudah berkeluarga, sdah punya anak, sudah sulit untuk bisa bersenda gurau ceria
lagi dengan kami yang masih memnitik jejak masa sebelum bersuami dan beranak.
Nostalgia kami
semakin menjadi, ceritanya ke mana-mana.
Rekaman suara
saya sudahi. Khilafnya saya malah lupa mengambil gambar suasana itu.
Pasca selesai
dengan urusan dapur, kami melanjutkan dengan aktivitas jalan-jalan sore,
merencanakan untuk buka puasa bersama beberapa hari lagi. Namun, sampai pada
hari tulisan ini dibuat lucunya itu hanya menjadi wacana.
Nanga Dangkan, 17 Mei 2020
Beberapa hari setelah kisah di dapur itu, saya kembali
berkunjung ke rumah Ayta. Kami akan melakukan buka puasa bersama. Kali ini, Ayta
harus menetapi janjinya untuk lanjut diwawancara.
Ayta sedang menonton
televisi. Dia nontonnya sambil berbaring. Jangan sampai tertidur!
Bantal yang
menjadi rebutannya dengan Maya, saya tarik dan saya ambil supaya tidak ada yang
berbaring kali ini. Maya itu sepupu saya. Kami bertiga adalah sabat sejak kecil
Maya juga saksi
hidup bagaimana kegigihan Ayta dalam memperjuangkan hidupnya dan keluarga.
Ayta tertawa
dan Maya mengejek, ruangan redup itu terisi suara terkikik-kikik, tertawa.
Posisi kami ada
di ruang tengah rumah lama yang di sebelah rumah baru kemarin. Rumah itu kini
dihuni Meri bersama dua putri kecilnya. Suaminya bekerja sebagai penebang kayu
di lahan sawit. Jadi jarang pulang.
Rumah itu dulu
markas kebesaran kami, sekumpulan bocah yang begitu pulang sekolah dan pulang
ke rumah masing-masing, ganti baju dan langsung pergi bermain ke rumah yang
kini sudah tua itu. Tidak ingat makan di minum.
Kami selalu
terbahak-bahak ketika mengingat hal indah itu.
Wawancara
dimulai setelah suasana dirasa meyakinkan. Pasalnya, banyak anak kecil di teras,
jadi berisik.
Ayta mengenakan
baju dan rok dengan warna senada, abu-abu. Rambut hitamnya yang bergelombang,
terurai. Saya duduk bersandar pada dinding, berhadapan dengan Ayta yang
membelakangi televisi.
Pertanyaan
pertama, apa sebenarnya hal yang membuat dirinya tidak mau kuliah?
Kami sulit
untuk serius. Namun, pejelasan berhasil diberikan.
Ayta mengatakan
bahwa dirinya malas, kala itu mengurus berkas-berkas yang harus dikerjakan
sendiri ketika hendak mendaftar SBMPTN. Dia merasa cukup kesal dengan guru di
sekolah yang ketika SNMPTN sangat antusias menfasilitasi, tetapi berikutnya
seolah dilepas begitu saja.
Apa masalahnya?
Uang! Sewaktu
mendaftar SNMPTN tidak ada biaya pendaftaran, tetapi ketika SBMPTN harus
membayar sejumlah 200 ribu rupiah.
Belum lagi
berkas-berkas yang harus dicetak dan difotokopi, lontarnya.
“Aku malas
bukan apa, duitnya nggak ada. Syarat berkasnya banyak, daftarnya mahal, tesnya
harus ke Pontianak. Uang dari mana?”
Saya terenyuh,
namun tetap berusaha tidak mengasihinya supaya suasana tidak menjadi dramatis.
Dari arah
dapur, Meri datang dengan semangat. Kakinya menggetarkan bangunan rumah itu
ketika melangkahi pagar pembatas ruang tengah dan dapur.
“Dulu kami
menjajakan daun singkong yang sudah di tumbuk untuk sekadar jajan sekolah.”
Ternyata meski
kami bersahabat, tidak pernah rasanya ada yang mengetahui jika mereka dulu
sampai seperti itu.
Ayta
menyambung, “Untungnya 20 ribu” katanya.
Semua keluarga
pernah susah, tetapi ini jaraknya sangat dekat. Demi tetap membuat suasana
mencair, sejenak saya alihkan obrolan kami dengan canda.
Seperti biasa,
sangat sulit memang membuat suasana serius.
Meski sangat
terlihat kesenjangan ekonomi antarwarga, namun keluarga Ayta sangat gigih.
Berbagai upaya dilakukan supaya bisa makan dan jajan.
Di sisi
lain...,
Maya bosan, dia
hanya bermain permainan cacing di ponsel pintarnya.
Sebenarnya dia
dari tadi sudah menagih kerjaan kepada Meri, karena tujuannya ke situ memang
ingin memasak soto yang ingin kami santap saat berbuka nanti.
Namun, untuk
wwancara, semuanya malah terabaikan.
Gelak tawa
keluar dari diri kami mendengar Maya yang kian mengeluh bosan dan mengancam
kami jika dia ingin pulang.
“Bihun, udah?
“Ayam, udah?”
Tanya Maya pada
Meri dan Ayta yang mereka jawab, udah.
Maya lanjut
bertanya, “Lalu apa yang belum?”
BUMBU…
Begitu sahut
Meri padanya, haha…. Meri bilang nanti saja karena tidak lama mengerjakannya.
“Nunggu Novia juga.” Dengan terpaksa, Maya mengiyakan.
Selama
wawancara terjeda, sesekali Meri memanggil anaknya untuk tidak bermain di teras
rumah, takut jatuh.
Rumah itu cukup
tinggi bagi anak-anak jika jaraknya diukur dari tanah. Pagar pembatasnya tidak
rapat bahkan bisa untuk tembus naik-turun rumah. Dari dulu sudah begitu.
Sejenak kami
mengenang satu orang sahabat kecil yang dulu kami selalu bermain bersama, bahkan
sampai SMA sebelum akhirnya dia menikah.
Kami teringat
jika buka puasa bersama kali ini. Dia adalah pribadi yang cukup mudah
tersinggung. Maya menyesal, takut nantinya malah menjadi tidak akur.
Meri
menjelaskan kalau sudah berkeluarga apalagi kalau sudah punya anak memang itu
resikonya. Mau ke mana-mana jadi susah, anak harus di bawa.
Wawancara
dilanjutkan.
Cara duduk Ayta
sekarang menyila, rambutnya mulai dikuncir.
Saya sangat
tertarik dengan hal berikutnya ini karena yang saya kenal Ayta itu pemalu,
malunya melebihi saya dulu.
Ayta dengan
gaya bicara santai mengatakan jika dirinya pertama bekerja di SPBU Pertamina
Simpang Silat, Kapuas Hulu. Gajinya satu jutaan lebih.
Hanya beberapa
bulan saja bekerja di situ. Kemudian, dia memutuskan merantau ke Putussibau
dengan harapan peruntungan yang lebih baik.
Dia bisa
merantau cukup jauh dari Silat Hulu, yaitu ke Putussibau. Penasaran, kok bisa
dia cari kerja di sana?
“Ya, sekalian
jalan-jalan. Jadinya merantau ke sana” jawabnya.
Dia Cuma bekal
uang 400 ribu pergi ke sana, begitu sambung Meri yang duduk menyerong menghadap
televisi di sebelah Ayta.
Uang 400 ribu
itu bertahan berapa lama?.
Untuk biaaya
perjalanan dan makan di jalan saja mungkin sudah terpangkas setengah. Pasalnya,
jarak dari Silat Hulu ke pusat Kabupaten Kapuas Hulu itu sangat jauh, kurang
lebih enam sampai tujuh jam jika menggunakan kendaraan umum. Belum lagi
singgah-singgahnya itu di tengah jalan.
Ayta menjawab
cukup lama uang itu bertahan. Kalau bahasa daerah kami engkimit istilahnya.
Engkimit lebih seperti
pelit kepada diri sendiri. Saya memintanya untuk menyebut “berhemat” saja.
Bisa bertahan
beberapa minggu katanya.
Di sana dia
tinggal menumpang di rumah abang sepupu saya, Bang Yusuf. Tujuannya untuk
menemani Kak Yuni di rumah. Tinggal di situ bersama Melly juga.
Melly itu adik
sepupu saya.
Di sana dia
pertama bekerja di toko sepatu milik orang Padang. Gajinya 1,2 juta per bulan.
Tapi uniknya
Ayta justru tidak mendapatkan gajinya itu. Bosnya pulang kampung ke Padang
setelah Ayta baru bekerja sebelas hari.
“Katanya sih cuma
seminggu, tapi berminggu-minggu ternyata,” ucap Ayta yang merasa geli akan hal
itu.
“Uamg nggak
ada, nunggu juga percuma. Yaudahlah berhenti.”
Di toko itu
Ayta bekerja merangkap, sebagai pelayan sekaligus tukang bersih-bersih.
Saya berpikir
mulanya dengan imbalan satu juta lebih itu adalah jumlah yang sedang. Namun
begtu mengetahui jika bekerjanya setiap hari, saya berpikir ulang.
Setelah sebelas
hari bekerja tanpa dibayar, Ayta memutuskan untuk berhenti dan mencari
pekerjaan baru.
Sekitar satu
bulan menganggur, menumpang hidup dengan Kak Yuni. Dirinya mengaku bahwa aitu
yang bisa dilakukannya adalah minta dikasihani.
Dari situlah
sampai hari ini dia bisa begitu akrab dengan kakak ipar saya itu.
Penantiannya
berakhir saat berkenalan dengan seorang teman. Gadis yang namanya tidak
disebutkan, memberitahu Ayta jika ada lowongan pekerjaan di sebuah kafe.
Tapa
menyia-nyiakan kesempatan, Ayta pun melamar pekerjaan di kafe yang bernama
Enjoy dan diterima sebagai koki sekaligus pelayan.
“Gajinya
lumayanlah, 1,6 juta” tuturnya.
“Itu kerjanya
setiap hari full atau pakai shif?”
“Setiap
harilah, jeda dua jam buat tidur,” jawabnya.
Pertanyaan
berlanjut. “Berapa lama kerja di situ?”
Ayta menjawab,
“Kontraknya enam bulan, tapi aku perpanjang jadi setahun.”
“Dari bulan
berapa sampai bulan berapa?”
Sebelum Ayta
menjawab, Meri dan Maya tertawa karena saya sangat begitu kepo dengan
perjalanan hidup Ayta. Saya pun menjelaskan bahwa, ya beginilah jadi wartawan.
Urusan orang lain pun harus diperdalam, hahaha...
Ayta menjawab
dari Oktober 2018 sampai waktu itu yang aku bilang ngabisin kontrak.
Berarti lebih
dari satu tahun kalau begitu.
Pasalnya, waktu
itu seingat saya, Desember Ayta mengatakan demikian. Ayta merespon, “Ya,
gitulah pokoknya,” seolah membiarkan itu terjadi.
Selama bekerja
di situ, dia menabung untuk dirinya dan juga keluarga.
Sebenarnya Ayta
mengaku jika dirinya tidak menabung secara terang-terangan, melainkan hanya
menyisihkan sedikit demi sedikit saja.
Dia tidak
menyebut itu dengan istilah menabung.
Pada awal tahun
ini, pekerjaan barunya ia lakoni.
Bekerja di
restaurant masakan Jepang. Gajinya satu juta pas.
Dia bekerja
sebagai pelayan dan asisten dapur, tapi sama saja dengan koki sebutnya.
Naas wabah
pandemi memaksanya untuk menunda pekerjaan itu sebab dirinya yang kini sudah
balik kampung tidak diizinkan Mamaknya untuk kembali ke Putussibau. Khawatir,
lebaran nanti malah tidak bisa pulang ke sini lagi.
Tidak berselang
lama, Novia datang. Dia adalah bos besar kami karena gajinya besar.
Saya dan Maya
merasa lucu dan seolah mengolok-olok diri sendiri.
Di saat sahabat
kami sudah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, kami justru masih menapaki jalan
untuk lulus dari bangku perkuliahan.
Novia masuk ke dalam
rumah dan menghampiri, dia bertanya apa-apa saja yang kurang dari kebutuhan
untuk buka puasa hari ini.
Sontak semua
tertawa dan menyorakinya, berkata bahwa orang yang banyak uang memang beda
romannya, haha… Tetap itulah Novia, sahabat yang sangat murah hati.
Maya, Meri, dan
Novia beranjak pergi ke dapur, sementara saya dan Ayta masih sedikit
melanjutkan tanya-jawab kami.
Dan pertanyaan
terakhir adalah…
“Selama bekerja
di Enjoy, kamu tinggal di mana?’
Sungguh
pertanyaan yang tidak begitu penting.
Ayta menjawab
jika mereka diberikan mes khusus pegawai, jadi di situlah dia tinggal bersama pegawai-pegawai
lainnya.
Lebih detail
bertanya, “Mes situ ada di mana? Dekat kafe? Di beakang atau di depannya?”
“Pokoknya
menyatu dengan bangunan kafe.”
Hari semakin
sore.
Cahaya di
ruangan yang juga terdapat seperangkat mesin jahit itu kini mulai redup.
Saya dan Ayta
kini tinggal berdua di ruang tengah, sedangkan yang lainnya mulai sibuk di
dapur.
Untuk tidak
mengurangi rasa silaturahmi di antara kami semua, saya pun mengajak Ayta untuk
ikut ke dapur, membantu Maya, Meri, dan Novia melanjutkan pekerjaan.
Di dapur saya
duduk paling ujung, di dekat pintu yang menagarah ke pemandangan aliran Sungai
Silat yang tampak airnya berwarna kuning karena sedang arus naik.
Pepohonan
rindang di seberang sana terlihat begitu gagah menahan tanah supaya tercegah
dari erosi.
Maya dan Novia
mulai memasukkan bawang putih, kunyit, dan yang lainnya ke dalam lesung batu
khas orang Melayu Kapuas Hulu. Kami menyebutnya penutuk.
Di sini tidak
dikenal apa itu cobek kata orang Jawa sana. Setiap ingin menumbuk rempah-rempah
untuk bumbu masakan, kami selalu menggunakan penutuk.
Suara khas
antara batu lesung dan alu itu memenuhi seisi dapur.
Hampir lupa
satu rempah yang sangat penting untuk menambah aroma masakan, serai.
Maya pun
meminta Saya dan Ayta untuk pergi mengambil serai di darat. Kami pun pergi ke
sana.
Ayta mengajak
saya untuk keluar melalui rumah yang di sebelah karena keduanya tersambung dari
lantai dapur.
Kami menuju ke
darat, tepatnya di tempat dulu pernah berdiri kokoh rumah Ayta dan keluarganya.
Saya berkata
pada Ayta sambil terus berjalan di belakangnya, “Dulu di sini luas sekali untuk
kita bermain. Sekarang sudah sangat sempit karena kita yang sudah besar.”
Lucu jika sudah
mengenang hal itu.
Badan kami
sangat mungil kala itu.
Bisa bermain di
bawah kolong rumah, di halaman yang kecil, bahkan sepetak bangunan sempit dulu
terasa lapang untuk bermain.
Sekarang kalau
mau masuk ke dalam kolong rumah lagi pasti tidak bisa keluar.
Setelah sampai
di tempat yang banyak ditanami tumbuhan serai, Ayta terlebih dahulu meminta
izin kepada si empunya.
“Kak, minta
serai!” teriaknya dengan tidak terlalu nyaring yang kemudian mendapat sahutan,
“Uuuk…” khas orang setempat.
Ayta pun menyayat
beberapa batang serai dan mencabutnya
Sekembalinya ke
rumah....
Pekerjaan
diselimuti canda tawa kami yang setiap berkumpul selalu mengenang masa kecil.
Betapa indahnya
saat-saat mandi terjun dari pohon sengkuang dulu.
Kalau banjir
datang, kami bahkan terjun dari jembatan gantung.
Kalau sekarang
ingin melakukan itu lagi, sudah malu sama umur.
Sembari Maya
dan Novia asyik menumbuk bumbu, Ayta membantu Meri mengurusi anak-anak.
Dua putri kecil
Meri, Halifa dan Hasbia terus saja merecoki jika tidak diawasi.
Meri mulai mengejek,
dia bilang, “Kalau bertanya seperti Sherly, sampai posisi gedung mes pun
ditanya, haha…”
Saya hanya
tertawa geli mendengar hal itu.
Ayta
menyinggung perjuangannya itu.
Dari hasil
pekerjaannya, Alhamdulillah sekarang dia bisa membantu untuk sekadar membeli
cat atau perkakas untuk merampungkan pengerjaan rumah baru di sebelah.
Bahkan yang
lebih membuat kagum mungkin sebagai seorang perempuan, dia pulang kampung tidak
hanya membawa uang tetapi juga membawa calon suami.
Kekasihnya itu
bernama Wahyu.
Tak hanya
mereka berdua, bahkan masing-masing keluarga sudah saling mengenal.
Perawakan Wahyu
hitam manis, tinggi badannya kurang-lebih sepadan dengan Ayta.
Ayta tentu
berharap jika nanti Wahyu yang akan mendampingi hidupnya untuk berjuang
menyusuri hidup yang penuh lika-liku.
Bagi Ayta perjuangannya
masih sangat panjang.
Dia
bercita-cita ingin mengubah derajat keluarganya menjadi lebih terpandang atau
mapan.
Harapannya,
semoga cita-cita itu masih tertanam dibenaknya saat ini dan akan tercapai.
Meskipun hanya
tamatan SMA, Ayta punya segudang bakat untuk mampu meraih cita-citanya itu.
Akhirnya waktu
sudah menunjukkan pukul empat sore. Saya, Maya dan Novia pun pergi pulang untuk
mandi dan berkemas diri. Setelah itu, baru kami kembali ke rumah Meri untuk
berbuka puasa.
Inilah kisah
hidup Ayta dalam berjuang demi keluarga.
Jika kemarin
‘begini’ hari ini ‘begotu’ maka besok ‘harus berubah’
Perjalanan
masih panjang.
Ayta mesti terus berjuang demi menggapai impiannya untuk membahagiakan keluarga dengan jerih payahnya sendiri.
Ayta mesti terus berjuang demi menggapai impiannya untuk membahagiakan keluarga dengan jerih payahnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar