MIMPI
YANG TAK DIMIMPIKAN
Penulis: Yeyen
Penyunting: Verawati
Bulan bersinar terang menembus
dinginnya
malam, saat Mastika lahir ke dunia (ilustrasi). Jumat 4 April 1997. Sumber foto: Yeyen
Korpora.id, Sambas-Sinar rembulan
menampakkan kilauannya di sela- sela ventilasi. Suara sautan burung hantu
menjadi nyanyian sahdu di tengah sunyinya malam.
“Aduh…aduh…
sakit”. Rintihan suara terdengar jelas di telinga. Dengan sigap mata ini
terbangun dari kehidupan dunia lain. Terlihat di samping kanan sudah memegang
perut yang siap untuk meledak. Aku mulai cemas, segera ku ambil pelita.
“Kamu
tunggu di sini aku akan segera kembali”. Kaki ini melangkah menerobos dinginnya
malam. Berbekal sebuah pelita, ku ketuk pintu Uwan Dore.
“Assalamualaikum
tok…tok…tok… Uwan” tidak ada respon.
Aku
coba mengetuk lagi “Tok... tok… Uwan Dore bukakan pintunya,” teriakku namun,
hanya suara meongan kucing yang menyambutku. Aku tidak pantang menyerah, selalu
ku benturkan kulit tanganku ke pintu kayu rumah Uwan Dore (dukun beranak
kampung).
“Srrreeet…”
suara pintu terbuka. Sekitarku menjadi lebih terang karena pertemuan dua
pelita. “Ada apa malam-malam ke sini?” suara khas orang bangun tidur menyapaku
“Istriku
sudah kesakitan perut Wan” tanpa pikir panjang Uwan Dore langsung ganti pakaian
dan mengikuti langkahku.
Suara
tangisan anak kecil terdengar samar-samar di telinga. Ketika tangan ini membuka
pintu kayu. Suatu kecemasan, kegelisahan, sekaligus kebahagiaan bercampur.
Tepat pukul 01:30 WIB lahir anak kecil dan mungil tergeletak di atas tilam. Uwan
Dore dengan sigap segera berlari-lari menghampiri dan mengambil sang bayi.
Darah dan tali pusat sudah bergelempangan di atas tilam. Cucuran keringat
membasahi tubuh Nurida.
“Tuhan
maha kuasa, baru lima puluh kilometer berjalan menuju ke rumah Uwan Dore sang
bayi yang mungil nan cantik sudah menghirup udara dunia,” jelas Nurida sambil
menyeka rambut ke telinga dan mengingat kejadian 23 tahun silam.
“Aku beri namamu dengan Mastika” ujar ayah
angkat Mastika sesaat sebelum mengumandangkan adzan di telinganya. Selain ayah
kandung, Mastika memiliki seorang laki-laki yang dianggapnya sebagai ayah dan
sekarang menjadi ayah angkatnya. Mastika sangat beruntung memiliki dua pahlawan
yang sangat mencintainya. Ayah kandung dan ayah angkatnya.
Menurut
keluarga Mastika pada saat proses melahirkannya sangat mudah dan tidak
merepotkan orang lain.
“Ketika melahirkan anak kami yang nomor tiga
ini (Mastika) memang beda dengan ke empat anak kami yang lainnya” Ujar Nurida
kala senja menyapa.
Delapan
bulan berlalu ibu Mastika kembali mengandung. Sehingga jarak Mastika dengan
adiknya sangat dekat yaitu delapan bulan. Mastika masih sangat lucu-lucunya dan
baru bisa satu dua langkah untuk belajar berjalan.
“Beranjak
besar tepatnya sekolah dasar ia mulai pandai berbisnis,” ucap Nurida.
“Iya
berbisnis (nada meyakinkan), bisnis jualan kelereng,” ucap Nurida ketika duduk
bersila di lantai.
Saat main kelereng Mastika selalu menang dan
kelereng hasil ia menang dijual kepada teman-temannya. Dari hal tersebut ia
mendapatkan uang jajan sendiri.
Ting…ting…ting…
ketukan lonceng bergema di seluruh sudut sekolah. Anak-anak saling mendahului untuk menuju
kantin. Maklum dari tadi kampung tengah sudah berdemo minta jatah. Namun, beda
dengan Mastika ia dipanggil oleh guru dan disuruh ke kantor.
Ternyata
ia di tunjuk untuk mengikuti lomba Porseni (Pekan Olahraga dan Seni) tingkat SD
untuk mewakili sekolahnya. Tidak tanggung-tanggung tiga bidang diikuti oleh
Mastika sekaligus yaitu lomba lari, voli, dan lomba menulis sinopsis bahasa
Indonesia. SD Negeri 10 Sange Tebat adalah tempat Mastika menimba ilmu.
Kala
sang surya menyiramkan kilaunya ke segenap alam raya dari ufuk timur. Saat itu cucuran air mengalir deras dari
pelipis Mastika. Ia harus bergegas untuk masuk kelas, melewati koridor penuh dengan
siswa-siswi. Dan ia tidak mengiraukan hiruk pikuk teman-temannya. Belum selesai
jantungnya stabil berdetak. Mastika sudah dengan gesit berlari menuju ruang lomba
menulis sinopsis bahasa Indonesia.
Sebelum jam lomba sinopsis bahasa Indonesia dimulai, ia mengikuti lomba
lari terlebih dahulu. Tepat baru 30 menit masuk kelas lomba tersebut dan ia
mulai fokus menulis. Lalu terdengar.
“Kepada
tim voli siap-siap berkumpul di lapangan,” terdengar suara teriakan panitia
lomba. Belum selesai detak jantung dan
otaknya istirahat. Mastika harus berpacu dengan waktu dan harus segera ke
lapangan voli. Di sisi lain ia harus menyelesaikan lomba menulis sinopsis.
Teman-temannya sudah teriak-teriak di luar. Pikirannya sudah melayang ke
lapangan voli, kebetulan jarak antara ruangan lomba dan lapangan voli tidak
terlalu jauh. Namun, ia harus menyelesaikan lomba sinopsis bahasa Indonesia ini
terlebih dahulu. Memang sebelumnya tidak diperhitungkan sama sekali bahwa jam pertandingan
ketiga lomba ini bersamaan.
Perempuan
yang menyukai bakso ini memang tidak diragukan lagi dalam hal prestasi
khususnya olahraga. Sederet prestasi sudah ia torehkan dari sejak kecil.
Dari
lima bersaudara hanya Mastika yang menggeluti dunia olahraga. Bahkan sang ayah
juga heran dengan anaknya yang satu ini. Hampir semua bidang olahraga bisa
Mastika lakukan. Namun, ketika diingat kembali sang ibu bertutur bahwa kakek
Mastika adalah pemain bola antar kampung pada zamannya. Kalau masalah kehebatan
memang tidak perlu diragukan lagi.
Beranjak
SMA rutinitas pertandingan olahraga Mastika agak meredup. Di tingkat sekolah
menengah atas Mastika tidak pernah mengikuti kejuaraan olahraga. Namun,
pertandingannya hanya sebatas pertandingan antar kampung di acara 17-an. Selain itu, Mastika ketika SMA selalu
mengajarkan anak-anak di kampungnya untuk puasa syawal dan mengajak mereka
untuk berbuka bersama di masjid. Ia juga aktif mengajarkan anak-anak mengaji
dengan sukarela tidak memungut biaya sepeserpun. Hal tersebut ia lakukan dengan
harapan agar anak-anak di kampung halamannya menjadi anak yang berakhlak baik
dan bisa membangun kampung menjadi lebih maju.
Kondisi jalan ketika
diguyur hujan untuk menuju rumah Mastika. Jalanan yang harus dilewatinya setiap
hari untuk menuntut ilmu. Jumat, 26 Juni 2020. Sumber foto: Yeyen
Sang
mentari seakan enggan menampakkan wajahnya. Awan nimbostratus juga tidak mau
peduli kapan dan dimana ia akan berlabuh. Anak-anak harus selalu bersiap jas
hujan plastik seharga delapan ribu rupiah tersimpan rapi dalam tas. Selain itu,
Kubangan air dan lumpur sudah siap menghadang mereka. Demi untuk mengejar mimpi
anak- anak tersebut harus selalu semangat melangkah menuju ke sekolah.
Senyum
sumringah terukir di wajah Mastika ketika mengingat masa sekolah. Ia ingat
betul kala itu musim penghujan dan sedang ada perbaikan jalan. Ketika anak yang
lain ke sekolah menggunakan sepatu dan pakaian yang rapi. Namun, Mastika harus
datang ke sekolah dengan kaki penuh dengan lumpur dan bau keringat seolah
menjadi minyak khas dari tubuhnya. Selain itu, motor bergelut dalam kubangan
air itu sudah biasa. Mau tidak mau hal tersebut seolah rutinitas yang dilewati
hampir setiap hari.
“Telat datang ke sekolah, dihukum guru, dan pakaian
harus bermandikan lumpur akibat jatuh saat bermotor itu sering terjadi.” Ucap
Mastika menyenderkan bahunya ke kursi.
Kegiatan di sekolah
“Salam
pramuka!” teriakku meminta perhatian keseluruh peserta anggota pramuka.
“Salam”
jawab mereka serentak
“Tepuk
pramuka…,” lanjutku
Setelah
semua sudah berkumpul rapi di lapangan sekolah. Apel pembukaan perkemahan siap
dilaksanakan. Apel ini dihadiri oleh kakak pembina, perwakilan dewan guru,
serta siswa-siswi SMA Negeri 2 Teluk Keramat. Hari ini adalah Masa Orientasi
Pramuka (MOP). Setelah apel selesai, peserta MOP berhamburan. Ada yang
melakukan aktivitas dapur seperti memasak, ada pula yang masih sibuk berkemas
tenda, dan bersiap untuk melakukan jelajah hutan.
Bagi
Mastika pramuka adalah ekstrakurikuler yang sangat menyenangkan. Ia seolah
tergila-gila dan jatuh cinta pada pramuka. Menurutnya, perkemahan adalah salah
satu hiburan yang cukup mubarak untuk dilewatkan. Tak heran jika setiap minggu
ia tidak pernah absen dalam mengikuti kegiatan pramuka baik itu Perkemahan
Sehari (Persari) ataupun Perkemahan Jumat Sabtu Minggu (Perjusami). Namun,
anehnya ketika SMA ia tak menggubris ektrakurikuler olahraga. Padahal sejak SD
dan SMP olahraga adalah belahan jiwanya. Ia seolah-olah terbius oleh
ekstrakurikuler pramuka.
“Pramuka
banyak mengajarkanku tentang sosial, berbicara di depan orang banyak, dan
menempa mental yang lemah sehingga menjadi pribadi yang tangguh,” ujarnya tepat
disaat hujan jatuh dari langit di sela-sela ia bertutur.
Catatan
akhir sekolah
Kelas
dua belas, biasanya para siswa sudah heboh membahas mau kuliah dimana? mau
mengambil jurusan apa? namun, berbeda dengan ku. Beberapa hari yang lalu aku
ditawari oleh kerabat untuk menjadi guru honorer di sekolah dasar yang berada kampungku.
Jarak dari rumah dan sekolah tersebut kurang lebih 200 meter.
“Terlintas
dibayanganku ketika aku mengajar nanti akan mendapatkan gaji, bisa membantu
orang tua, dan membiayai kuliahku.”
Akhirnya
aku pun memutuskan untuk mengajar anak SD di kampungku. Aku juga mendaftar di
Universitas Terbuka di Sambas. Namun, berjalan beberapa bulan setelah ujian
nasional aku di tawari oleh guru SMA ku untuk melanjutkan kuliah di Politeknik
Negeri Pontianak (Polnep) dengan jalur beasiswa. Namun hal tersebut aku tolak,
dengan dalih telah bekerja sebagai guru honorer di sekolah dasar di kampungku. Dan
harapanku saat itu dengan aku bekerja menjadi guru honorer, aku bisa bantu
orang tuaku dan selalu dekat dengan mereka.
Kemeriahan
dan senyuman tersungging dari wajah anak-anak ketika memasuki sekolah. Hari ini
hari pertama masuk sekolah dari libur semester.
Lingkungan baru dan suasana baru juga dirasakan oleh Mastika. Buku
absensi dan buku paket terapit erat di tangannya ketika memasuki ruang kelas 3.
Wajah penuh semangat untuk menyebarkan kebaikan terpancar dari Mastika. Semangat
untuk memajukan pendidikan membara di jiwa perempuan yang menyukai film Gundala
ini.
Hari-hari
dipenuhi dengan hal-hal baru dan penuh semangat untuk memberikan ilmu yang bermanfaat
bagi anak-anak penuh mimpi. Tak jarang Mastika dalam jam yang bersamaan dia
harus masuk tiga kelas sekaligus. Sekolah tempat ia bekerja memang kekurangan
tenaga pengajar. Mau tidak mau ia harus kerja ekstra. Walau lelah ia tetap
senang dan semangat untuk melakukan hal tersebut.
“Demi
anak-anak kalau bukan kita siapa lagi yang mau turun tangan untuk memajukan
pendidikan di kampung kalau bukan orang kami sendiri.” Suatu harapan besar yang
diharapkan Mastika untuk kampung halamannya. Memang kampungnya ini jauh dari
pusat keramaian dan jauh dari sarana dan prasarana yang memadai.
Beberapa
bulan berlalu, hal yang tidak mengenakan terjadi.
“Setiap
rapat saya dan teman-teman selalu dipandang rendah dan disinggung belum S1 oleh
salah satu rekan kerja” ujar Mastika dengan nada rendah dan mata menatap gelas
yang berisi es rasa kelapa muda di atas meja.
Kami
hanya tertunduk lesu ketika disinggung seperti itu di rapat.
Apa
salah kami? Kalimat tersebut selalu terngiang dibenak Mastika. Kami juga bekerja sesuai prosedur dan bekerja
semaksimal yang kami bisa. Datang paling awal dari yang lain dan bahkan hampir
setiap hari kami masuk tiga sampai empat kelas dalam jam yang bersamaan. Semua
hal yang bisa kami kerjakan kami lakukan untuk mencerdaskan anak-anak yang
penuh semangat untuk mengejar mimpi. Tapi kami masih dianggap rendah oleh rekan
kerja kami yang memang dia sudah S1 dan sudah mengajar lama di sekolah tersebut.
Namun, sindiran tersebut tidak terlalu kami hiraukan karena kami tidak punya
kekuasan dan keberanian untuk melawan. Bahkan, hal tersebut seperti hal biasa
yang harus selalu kami dengar sesama honorer yang belum S1 di setiap rapat.
Memang
benar adanya seperti itu kami hanya pemuda ingusan yang baru lulus SMA dan
nyangkut di sekolah dasar yang dipenuhi dengan adik-adik kami yang memiliki
sejuta mimpi untuk membangun kampung halaman. Mastika sempat terlintas rasa
menyesal mengajar dan menolak kuliah di Pontianak. Tapi apa boleh dikata, sudah
terjadi. Namun, dari sinilah mimpi yang tak pernah ia mimpikan terwujud.
Di
sela-sela mengajar, setiap sore sering latihan sepak bola di kampung. Selain sepak
bola ia juga aktif berlatih main voli dan badminton.
Iseng-iseng
latihan untuk mengisi waktu luang dikala senja menyapa. Dari keisengan tersebut
menghantarkannya ke tanah Jawa.
Suara
gemuruh penonton dari lapangan Perigi Parit mampu membuat pertandingan menjadi
seru dan heboh. Suara teriakan dari kedua tim saling bersautan dan saling
memberi semangat untuk tim jagoannya.
Pruiiiiit…
peluit panjang ditiup oleh wasit pertandingan, menandakan satu babak permainan
sudah selesai. Pemain pergi ke tepi lapangan untuk mengambil minum dan
mendengar arahan dari pelatih.
Pengumuman
dari mikropon untuk cabut undi sepak bola peremupuan turnamen bola Sambas. kami
hanya iseng-iseng cabut undi. Sebelumnya kami tidak tahu ternyata ada turnamen
sepak bola perempuan di Sambas. Pas ditanya kepada panitia berapa pesertanya
ternyata sudah 32 tim. Turnamen sepak bola perempuan sudah berjalan 3 tahun,
hanya kami saja yang ketinggalam informasi. Andai turnamen ini sudah kami
ketahui sejak awal pasti kami akan ikut setiap tahunnya.
Kami
pun berlatih untuk mengikuti turnamen tersebut. Setiap sore tidak peduli hujan
atau panas kami latihan bermain bola. Pertama kali ikut pertandingan kampung
ditunjuk menjadi kiper. Untuk pertama kali latihan, semua perlengkapan yang berkaitan
dengan sepak bola baik itu sepatu, baju,
sarung tangan semuanya harus meminjam karena memang Mastika tidak memilikinya.
Ketika
turnamen ke kampung- kampung kami sering mendapat kendala. Kerusakan motor baik itu ban nya bocor atau
kerusakan yang lain. Tapi usaha tidak mengkhianati hasil. Akhirnya tim kami
keluar sebagai runner up dari turnamen tersebut.
Latihan
di lapangan Manggis Sambas
Mentari
senja begitu cerah. Menambah nikmat suasana di kota Sambas untuk dinikmati muda
mudi. Aku menghabiskan waktuku dengan latihan di lapangan sepak bola Manggis. Pas
di lapangan tanpa ku sadari sepasang mata mengawasiku dari kejauhan. Ketika
sesi istirahat seorang Asprov (Assosiasi Provinsi) menghampiri ku meminta no WhatsApp.
Aku tidak mengira kalau aku ditawari latihan sepak bola untuk mengikuti seleksi
Pra-Pon
Berawal
dari pemain tarkam ikut seleksi tim kabupaten dari berates-ratus pemain yang
ikut seleksi dari seluruh daerah Kabupaten Sambas lalu hanya dipilih 20 orang
terbaik, satu diantaranya adalah Mastika.
Mastika
adalah sebagai kiper. Pertama kali latihan dan ikut seleksi pakaian dari ujung
rambut dan ujung kaki semuanya meminjam. Namun Mastika berniat untuk membeli
sepatu dari hasil ia honor menjadi guru dan hasil mengerjakan tugas temannya.
Mastika juga sering mengerjakan tugas temannya untuk menambah uang sakunya.
Digaji perpaket, satu paket dibayar dua ratus ribu rupiah. uang tersebut ia
gunakan untuk keperluan sehari-hari. Sisa dari uang tersebut ia tabung untuk
beli sepatu seharga Rp 90.000,00.
“Mastika
adalah anak yang mandiri,” ujar sang ibu
“Kami
dari keluarga yang tidak mampu, Mastika tidak pernah merepotkan kami bahkan
ketika dia mendapat rezeki ia akan bagi-bagi rezeki tersebut ke keponakan atau
adik-adiknya,” jelas ibu Mastika sambil mengusap aliran air dari bola matanya.
Perempuan
yang sangat mengidolakan penyanyi Arijit Singh ini memang tidak ingin
merepotkan orang tuanya. Menurutnya orang tua sudah susah jangan ditambah lagi
susahnya.
“Selama
aku masih bisa bernapas dan mampu untuk mencari rezeki sendiri aku tidak ingin
menyusahkan kedua orang tuaku” Ungkap Mastika.
Tidak
jarang Mastika dan temannya untuk menghemat biaya untuk latihan. Beli bensin
patungan karena duit dalam dompet benar-benar tidak ada.
Hasil
perjuangan akhirnya berbuah manis. Mastika terpilih mewakili Kabupaten Sambas
untuk berlatih di provinsi. Namun, perjuangannya masih belum berakhir.
Pukul
18:30 sang surya sudah pergi ke tempat peristirahatannya. Ketika semua keluarga
sudah berkumpul dan istirahat melepas penat. Mastika memberikan kabar bahagia
tersebut kepada kedua orangtuanya. Sempat takut dan ragu untuk memberi tahukan
kabar gembira ini. Namun, ini harus diberitahukan. Diizinkan atau tidak itu
urusan belakangan pikir Mastika.
Ekhemm…
deheman Mastika membuka pembicaraan.
Semua
menoleh kepadanya.
“Mak…
Yah… aku dapat informasi dan telah dihubungi bahwa aku terpilih mewakili
Kabupaten Sambas untuk mengikuti seleksi Pra-Pon di Pontianak,” jelasnya dengan
hati berdebar-debar.
Semua
diam dan mulai tertawa. Namun, sunyi sejenak.
“Yang
benar? itu informasinya sudah benar atau cuma...,” tanya ibu Mastika sambil
mengernyitkan dahi.
Dengan
sekuat kemampuan Mastika mengolah kata-kata meyakinkan kedua orang tua dan
keluargannya.
Akhirnya
orang tuanya percaya.
“Kamu
boleh mengikuti seleksi tersebut, Selama kamu suka, kerjakan! Selama hobi
tersebut baik lanjutkan! tapi ingat jangan sekali-kali meninggalkan kuliah.
Kamu boleh ikut kegiatan apapun tapi kuliah tetap nomor satu.” Ucap ayah
Mastika mantap dan penuh tekanan.
Mastika
tertunduk, lalu ia berkata. “Siap…” senyuman kelegaan terpancar di wajahnya. Ia
menyanggupi perjanjian dari ayahnya.
Jelang
keberangkatan ke Pontianak. Di kampung sedang ada acara 17-an. Awalnya Mastika tidak
ingin ikut berpartisipasi dalam acara tersebut. Tetapi kawannya selalu mengajak
untuk ikut lomba permainan kasti karena setiap acara 17- an di kampung tidak
absen. Tapi untuk perlombaan kali ini, aku menolak dengan berbagai alasan.
Namun, suara deringan gawaiku bergetar di atas meja. Aku jawab panggilan
tersebut ternyata itu adalah panggilan dari kepala desa. Ia mengajakku untuk
ikut lomba permainan kasti untuk mewakili desa. Seperti buah simalakama, dengan
berat hati Mastika mengiyakan ajakan orang nomor satu di desanya.
Perlombaan
kasti digelar dengan sangat meriah. Sorak sorai penonton memenuhi lapangan bola
Sayang Sedayu. Tim kasti perwakilan desa Samustida (desa Mastika) siap untuk
bertanding. Pancaran sinar mentari menyengat dan membakar pigmen kulit siapa
saja yang kena sinarnya. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan semangat kedua
tim untuk merebutkan piala kasti bergilir.
Ketika
ayunan pertama Mastika untuk memukul bola kasti, tiba-tiba tangannya seperti
dipatahkan dan tidak bisa digerakkan. Ia menepi dari lapangan.
Kekhawatiran
ibu Mastika sangat terlihat, ketika Mastika meringis kesakitan.
Hari
demi hari, keberangkatan untuk latihan Pra-Pon ke Pontianak sudah di depan
mata. Mau tidak mau ia harus berangkat. Mastika pasrah dengan kondisinya
seperti itu. Padahal posisinya adalah sebagai kiper. Namun, ia harus tetap
berangkat.
Sebelum
keberangkatan, sempat cibiran terdengar dari tetangganya.
“Untuk
apa main bola buang-buang waktu, tenaga, dan uang saja,dan dibilang mustahil
sukses,” ucap mastika menirukan cibiran tetangganya.
Namun,
Mastika tidak mengiraukan ocehan tersebut.
Di
sisi lain ada suatu hal yang perlu ia lepaskan untuk mengejar mimpinya yaitu
berhenti bekerja sebagai guru honorer. Suatu keputusan yang bulat telah Mastika
sepakati bersama keluarga dan pihak sekolah. Tidak terasa tiga tahun Mastika
bertahan menjadi guru honorer di sekolah tersebut dengan gaji Rp 300.000
perbulan serta berbagai lika-liku permasalahan. Ternyata Tuhan punya rencana
lain untuknya. Ada terbersit suatu kebanggaan bisa berbagi ilmu walau hanya
sebentar.
Namun,
tidak sampai disitu perjuangan Mastika untuk ikut latihan ke Pontianak. Ia
harus menguruskan berkas-berkas meminta izin ke pihak kampus. Pihak kampus
menyerahkan sepenuhnya ke Mastika dan angkat tangan untuk mengurus
berkas-berkas ke tingkat provinsi. Selain itu, pihak kampus tidak membantu
dalam perizinan dan menyerahkan semuanya ke Mastika. Mastika kuliah di Universitas Terbuka jadi
pihak kampus langsung menyarankan untuk mengurus berkas-berkas tersebut
langsung ke Pontianak karena universitas yang di Sambas adalah cabang dari Pontianak.
Hari
keberangkatan ke Pontianakpun tiba. Ada rasa bangga dan bersyukur bisa
menginjakkan kaki di kota khatulistiwa. Walau tidak untuk kuliah kali ia datang
untuk ikut seleksi. Sejak SMA impian Mastika adalah kuliah di salah satu
universitas yang ada di kota Pontianak. Namun, Tuhan berkata lain. Ia
ditakdirkan ke Pontianak tidak untuk kuliah tapi untuk membanggakan kampung
halaman melalui sepak bola.
Pertama
datang di sambut oleh orang-orang berseragam alias pelayan hotel. Pertama kali
masuk dan tidur di hotel.
“Hal
yang menarik pertama kali datang ke hotel adalah tidak bisa menggunakan live.
Dipencet-pencetlah tombolnya. Kawanku sudah mulai panik. Terus berlari-lari
minta bantuan. Tapi tidak ada orang. Bolak balik di depan live, lalu bertemu
dengan satpam. Akhirnya kami bisa turun menggunakan live. Maklum sepok woi,”
jelas Mastika terpingkal-pingkal mengingat peristiwa tersebut.
Sesi
latihan perdana dimulai. Kami dari berbagai kabupaten di Kalimantan Barat berkumpul
di suatu lapangan bola Sultan Syarif Abdurrahman (SSA). Rasa tidak percaya bisa
latihan di tempat seperti ini. Anak dari kampung dengan kondisi yang sangat
jauh dari kesan mewah. Mau keluar kampung saja harus melewati jalan yang
berlumpur. Rasanya mimpi bisa ada di lapangan bola yang besar.
Padahal
tangan Mastika masih belum sembuh. Pas latihan, lagi dan lagi tangannya patah. Lalu
ia dibawa ke tempat urut Sinsang. Sudah merasa lumayan.
Tapi
ketika latihan berikutnya lagi,lagi, dan lagi. Tangan Mastika kembali patah. Mastika sudah pasrah dengan keadaan. Namun,
ingat lagi orang tua di rumah.
Pas
pemusatan latihan harus selalu diikuti padahal dengan keadaan yang seperti itu
rasanya tidak mungkin Mastika bergabung untuk latihan. Namun, dengan kemampuan
dan menahan rasa sakit, Mastika memaksakan diri untuk tetap latihan. Selalu memotivasi diri untuk bisa! dan bisa!
Jatuhnya
jadi memaksakan diri. Namun, demi mengejar cita-cita dan membanggakan orang
tua. Ia selalu ingat pesan pelatihnya. “Ketika kamu ingin menjadi pemain
baik, maka buatlah kondisimu menjadi baik”
Kalimat
tersebut selalu terngiang di otak Mastika. Karena apabila tidak dipaksakan untuk
terus latihan maka disuruh pulang dan didiskualifikasi. Rasanya tidak mungkin
cita-cita sudah didepan mata disiakan begitu saja.
Jelang
tiga bulan latihan. Suatu pengumuman yang ditunggu-tunggupun tiba,
alhamdulillah Mastika lolos ikut mewiliki Kalimantan Barat di ajang Prapon. Tangisan
haru biru orang tua dan tangisan kebahagian saat mengabari orang tuanya di
kampung.
mastika ketika menatap
takjub dengan kemegahan stadion. Rasa tidak percaya sekaligus bersyukur bisa
bertanding di stadion kota pelajar Yogyakata. 15 Desember 2019. Sumber foto: Mastika.
Lagi…lagi…dan
lagi. Rasanya mimpi masuk lapangan megah terbayang berjalan dari jalan lecet
dan becek masuk stadion megah. Mau dikatakan orang kaya juga tidak. Rasa tidak
percaya bisa menginjakkan kaki di tanah Jawa.
“Selama
ini tidak ada sama sekali dalam kamus hidupku untuk datang ke tanah Jawa. Untuk
memimpikannya saja tidak berani karena jauh dari kata mungkin.”
Namun,
sekarang dengan kaca yang berbinar-binar Mastika masuk stadion.
Pertama
kali menginjakkan kaki mendarat di bandara Soekarno-Hatta, Mastika bingung tidak
tahu jalan. Kebetulan Mastika pergi sendiri.
“Ngomong
saja gagap maklum orang kampung” ujar Mastika merendah ketika menjelaskan
Pucat
muka Mastika masih tampak jelas dari raut wajahnya ketika tiba di bandara
Soekarno-Hatta. Ini adalah pertama kali baginya menaiki transportasi pesawat.
“Tapi
pas ditanya takut? aku jawab tidak. Sombong sikit. Tapi dalam hati naik pesawat mati atau tidak
aku ini,” jelas Mastika mengingat peristiwa tersebut dengan tersenyum-senyum.
Orang-orang
sibuk befoto-foto wajah Mastika pucat. Pertama kali pas latihan Mastika pergi sendiri.
Masih belum sama tim. Memang Mastika hanya disuruh sendiri untuk latihan
sendiri ke Jakarta mewakili pemain wanita Kalimantan Barat.
Turnamen
yang ditunggu-tunggu. Pemusatan latihan dilakukan di Yogyakarta.
Hidup
ini terasa hampa jika tidak dihadapkan dengan sebuah pilihan. Itu juga yang
dirasakan Mastika. Ia dihadapkan dengan pemusatan latihan untuk Prapon atau
ujian semester yang dilakukan di Sambas. Pihak kampus tidak mau memberi
toleransi terhadap Mastika.
Pikiran
Mastika bimbang tidak menentu karena harus disuruh memilih.
Ia
ingat janjinya kepada sang ayah bahwa jangan sampai kuliahnya terbengkalai
hanya demi sepak bola.
Mastika
bisa dikatakan anak muda yang sangat peduli dengan pendidikan, di kampungnya
pemuda yang melanjutkan kuliah tidak lebih dari sebelah jari. Dan rata-rata tamat
SD, SMP sudah menikah. Mastika beranggapan pendidikan itu sangat penting.
Pendidikan tidak hanya memberi kita pengetahuan tentang membaca dan menghitung.
Namun, Pendidikan memupuk kita menjadi orang yang lebih dewasa dan menjadikan
individu yang mampu merencanakan masa depan. Di sisi lain ia juga sudah membuat
perjanjian dengan sang ayah.
Dengan
berat hati mimpi yang selama ini yang tak pernah dimimpikannya berlaga di acara
besar kelas nasional harus di kuburnya dalam-dalam. Ia berbicara dengan managernya.
Lagi…lagi…
dan lagi. Tuhan punya rencana dibalik kejadian. Managernya memberi toleransi
dan mengizinkan Mastika untuk menyusul ke Yogyakarta setelah ia ujian.
Mendengar
kabar tersebut ayah Mastika menangis tersedu. Tidak menyangka managernya
memberi pengertian kepada anaknya.
Sore
menyapa kota gudeg dengan ceria. Tiupan angin sepoi-sepoi di tengah keramaian
membuat kami sedikit risih karena belum mandi. Di sela-sela pemusatan latihan,
dengan badan penuh keringat. Selesai latihan menyempatkan diri untuk mampir ke
indomaret.
“Wuiih
kata kami, ada Dimas Anggara (artis). Langsung kami hampiri. Bang boleh foto?” dengan senyuman ramah boleh
kate Dimas Anggara. Dengan sigap kami mengeluarkan gawai dari saku celana.
Tidak peduli dengan bau badan dan belum mandi.
Mastika dengan baju
kaus warna biru navy tersenyum bahagia ketika bertemu sang idola Dimas Anggara
di salah satu indomaret di Yogyakarta 2019. Sumber foto: Mastika
“Hmmmm
alhamdulillah memang tidak semua orang memiliki kesempatan itu,” senyuman puas
dan terharu terukit dari Mastika saat menceritakan hal tersebut. Jadi nilai
tambah juga bisa ketemu artis.
Ketika pertandingan
kami disiarkan langsung oleh Kompastv.
Perasaannya bangga, serta haru menyelimuti orang tua dan kerabat. Berawal dari lapangan kampung yang penuh
dengan lumpur dan sekarang berjalan di lapangan hijau nan megah. Ditonton oleh
beribu-ribu orang.
Mastika
percaya mimpi yang tidak mungkin bisa saja terwujud, yang penting ada kemauan
dan kerja keras untuk mengejarnya.
Mastika
membuktikan hal yang mustahil dan cibiran tetangganya tersebut dibuktikannya
dengan prestasi. Saat ini Mastika di tunjuk sebagai pelatih sepak bola wanita
di Sambas. Selain itu, ia merangkap menjadi pemain dan juga dipercaya menjadi
wasit disetiap pertandingan sepak bola perempuan di Kabupaten Sambas. Di usia
yang masih sangat belia. Ia mampu membuktikan bahwa anak kampung juga bisa
bersaing dengan anak kota.
Keterbatasan
bukan suatu halangan untuk maju, tapi keterbatasan membuat kita menjadi lebih
tangguh. Terkadang dalam banyak keterbatasan dan halangan, kita harus bersabar
menunggu rencana terbaik datang. Melalui keterbatasan kita belajar tentang
kehidupan. Seseorang akan semakin matang dalam menghadapi setiap masalah. Kita
tahu bahwa kita memiliki kelemahan, kekurangan, dan keterbatasan. Namun, dengan
memilih untuk fokus kepada apa yang masih menjadi kelebihan kita, kehidupan pun
akan berjalan dinamis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar