Sumber: Dokumen Pribadi
Korpora.id, Singkawang - Jam makan siang telah usai. Meja masih
diisi beberapa pelanggan yang sedang menikmati bakmie kering. Sesekali, pegawai
tempat makan itu berlalu lalang melayani pelanggan. Suasana tempat makan tampak
begitu segar dengan mural yang menghiasi dindingnya. Warna-warni mural tersebut
seirama dengan variasi warna bakmie kering sehat yang dipelopori Bakmie Bogita
itu.
Nama “Bogita” diambil dari nama kecil sang pemilik,
Eka yang akrab disapa Bogi. Menjalani bisnis kuliner juga didorong dari latar
belakang tata boga pada Eka dan Dewi, istrinya. Berawal dari kesenangan Eka
terhadap bakmie, setelah menikah di tahun 2013 ia bersama sang istri membangun
usaha bakmie sehat. Bagi Dewi, warna alami pada bakmie baik untuk nutrisi para
konsumennya.
"Jadi kami mengolah bakmie sendiri dan warna
bakmie berasal dari bahan alami. Untuk bakmie hijau kami olah dari sawi, kuning
dari wortel, dan ungu dari buah naga," ujar Dewi ketika ditemui pada
Sabtu, 31 Oktober 2020 di Kota Singkawang.
Di awal perjalanan usahanya, Dewi dan sang suami
menghadapi banyak kesulitan. Saat itu, usaha yang mereka jalani hanya dengan
modal nekat dan uang Rp 500.000. Mereka mengalami kegagalan saat di awal
membangun usaha, mulai dari diduga menggunakan pewarna oleh orang lain hingga
pembuatan bakmie yang gagal. Pasangan suami istri itu berusaha membuat bakmie
terbaik setelah 70 kali percobaan.
"Semuanya itu dimulai saat pertama kali buka
usaha di Roban. Tentu orang juga kurang teredukasi soal warna pada bakmie
karena kami baru. Pada satu hari kami mendapat pesanan katering di Sedau sana.
Kami buat bakmie hari ini untuk acara keesokan harinya. Di hari-H, ternyata
tekstur bakmienya seperti lem. Karena gagal, kami akhirnya pulang. Saya
menangis saat itu sambil membawa kuah panas di motor. Kami menutup tempat
pertama kami setelah kejadian itu," ceritanya.Ketika masa mencoba membuat bakmie terbaik dari berbagai percobaan, Dewi
menceritakan tentang pemilik warung kelontong yang cukup heran dengan jumlah
dan frekuensi mereka membeli tepung. Hingga pada akhirnya, pemilik warung
kelontong memberi tahu mereka tepung apa saja yang baik digunakan untuk membuat
bakmie.
“Kami akhirnya tahu bahan utamanya meskipun untuk
resep kami belajar menakar sendiri hingga kami mencapai titik dapat membuat
bakmie yang enak.”
Perjuangan Dewi dan Eka membangun Bogita tak hanya
soal menciptakan rasa saja. Mengenalkan bakmie Bogita pada masyarakat
Singkawang juga menjadi salah satu hal yang begitu mereka perhatikan sejak awal
berdiri. Tak hanya itu, selama tujuh tahun berjalan, mereka telah berpindah
tempat hingga enam kali, mulai dari di simpang Roban, di dekat Toko Lestari
tugu BNI, di sekitar tempat tinggal mereka di KS Tubun, di depan Mes Daerah, di
Jalan Bambang Ismoyo, hingga akhirnya di Jalan Gusti Sulung Lelangang pada saat
ini. Dewi menuturkan berbagai faktor berpindah tempatnya Bogita, mulai dari
gagal, habisnya waktu sewa, hingga semangat ingin mengembangkan usaha.
Sebelum berpindah di tempat sekarang, Eka sempat
mengumumkan bahwa bakmie Bogita akan tutup secara permanen di akun facebook-nya.
Para pelanggan setia begitu sedih dan memberikan semangat pada mereka saat itu.
Keputusan Eka dan Dewi untuk menutup bakmie Bogita dikarenakan trauma saat
menjalani usaha saat masih di tempat sebelumnya.
“Sebenarnya ada berbagai faktor yang membuat kami
akhirnya memutuskan untuk tutup. Pertama memang karena waktu sewanya sudah
habis. Tapi juga ada faktor lain. Jadi salah satu pegawai kami bisa dikatakan
mencuri dan merusak rasa dari bakmie. Kami sebenarnya selalu berusaha untuk
membuat bakmie yang baru dengan rasa yang tak pernah kami ubah. Tapi kami tidak
bisa menghindari perbuatan seperti itu. Selain itu, ada isu mengenai warung
kami yang menyebar ke masyarakat dan hal itu memang dikarenakan kami sedang
diguna-guna oleh orang yang iri dengan kami.”
Wajah Dewi tampak sedih ketika menceritakan kembali
masa jatuhnya usaha bakmie Bogita saat usaha mereka telah dikenal oleh masyarakat.
Dewi dan Eka kemudian pulih dari trauma tersebut dan membangun kembali bakmie
Bogita setelah tujuh bulan berlalu.
“Pelanggan banyak yang meminta kami untuk buka. Selain
itu, ada orang baik hati yang memberikan kami modal. Ia saat itu bilang ke kami
untuk jalani saja, sayang sudah banyak orang mengenal ciri khas kami,” tutur
perempuan 38 tahun itu.
Bagi Dewi, kembalinya bakmie Bogita di tengah
masyarakat juga merupakan salah satu wujud ia dan sang suami mengembangkan
usahanya. Kini tempat makan mereka jauh lebih luas dibandingkan dengan tempat
sebelumnya. Selain tempat yang lebih besar, mesin yang mereka gunakan untuk
membuat mie juga lebih besar dibandingkan sebelumnya.
“Di awal usaha kami membuat mie menggunakan ampia.
Namun karena lama dan tidak awet, kami menggunakan mesin sejak berjualan di
depan Mes Daerah. Saat ini, kami sudah menggunakan mesin yang lebih besar sejak
berjualan di Bambang Ismoyo.”
Selain berkembang secara operasional, menu makanan di
bakmie Bogita kini semakin beragam. Tak hanya menjual bakmie kering dengan
berbagai warna alami yang menjadi ciri khas, mereka juga menyediakan berbagai
menu mulai dari bakso, bakmie geprek, nasi goreng, mie goreng, katsu, hingga
berbagai menu lainnya disertai dengan menu minuman yang kekinian.
Tak hanya menjalani usaha, latar belakang pendidikan
juga menjadikan mereka dapat berbagi ilmu memasak bakmie kering sehat kepada
masyarakat. Mereka telah memberikan pelatihan kepada berbagai kalangan, mulai
dari pelajar SMK tata boga hingga individu yang ingin menjalani bisnis seperti
mereka. Eka sendiri juga biasanya menjadi pembicara di workshop
kewirausahaan.
Kini, banyak dari pegawai di bakmie Bogita berasal
dari mereka yang dahulunya pelajar yang belajar membuat bakmie bersama Dewi dan
Eka. Ketika Dewi hadir, mereka menyapanya dengan panggilan akrab dan terdapat
mereka yang bermain bersama anak lelaki Dewi. Dalam menjalani usaha, Dewi
merasa kekeluargaan juga menjadi hal yang penting. Meski sebelumnya telah
mengalami pengalaman yang tidak nyaman, baginya jalinan kekeluargaan antara
pemilik dan para pegawai menjadi kunci utama.
Di sini kami menjalaninya bukan sebagai pemilik dan
pegawai, tapi sebagai keluarga. Itu yang membuat kami dapat saling bekerja sama
satu sama lain,” tuturnya.
Penulis : Rahma Fadhila
Penyunting : Natasya Maulina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar