Pebulis: Angga Laena Siti Patimah
Penyunting: Dedy Ari Asfar
Korpora.id, Pontianak - Naira,
anak perempuan berusia 15 tahun itu sedang berada di dalam lemari kamar Hotel yang terletak di Jalan Imam Bonjol Kec.
Pontianak Sel., Kota Pontianak, Kalimantan Barat 78243. Ia memainkan kamera
filter IG di gawainya dan masih sempat memotret wajahnya barang satu atau dua
gambar. Ia menunggu temannya yang bernama Tina, kenapa Tina belum mengabari ya, batinnya. Naira lalu mengirim pesan
kepada Tina, ia khawatir Tina bertemu dengan mamanya seperti dua bulan lalu.
Grafik pikirannya memutar dimensi waktu kembali.
“Naira
kamu kok jadi kayak gini, nggak bilang sama Mama,” ujar perempuan berparuh
baya, berkulit putih, dan berambut lurus itu.
Naira
tetap tertidur tenang menggunakan piyama bewarna biru di kasur putih yang empuk
itu. Perempuan yang melahirkan Naira ini akhirnya kehilangan kesabarannya
hingga menjambak rambut panjang Naira.
Naira
seketika terbangun. Ia melihat keluarganya, bapak tirinya, beberapa polisi dan,
“Mama?” ujar Naira tiba-tiba.
Pantaslah Tina kabur tadi, batin Naira. Naira
sudah diberitahu beberapa jam sebelumnya saat hendak masuk ke hotel, bahwa Tina
melihat mama Naira di jalan. Namun, Naira menganggapnya itu hanya sebagai
gurauan belaka, sebab Tina sering bercanda setiap kali mereka ada di hotel.
“Ayo
sekarang ikut Mama,” tegas mama Naira, menarik pergelangan tangan Naira. Naira
pun meninggalkan pacarnya yang bernama Dino begitu saja.
Kejadian
pada Agustus 2020 itu tak membuat
Naira jera atas perbuatannya. Ia selalu merasa kesepian harus berdiam terus di
rumah, apalagi jika Naira melihat mama yang selalu asik dengan bapak tirinya ia
merasa sangat muak dan kesal.
Lantas,
untuk kesekian kalinya ia selalu tidur di kamar hotel yang berada di Pontianak.
Hotel termurah hingga yang paling mahal
pernah ia tempati. Kini, tanggal 08 Desember 2020, rencananya tak berjalan seperti biasanya.
Saat
ia asik dengan gawainya di dalam lemari besar itu, kekhawatirannya lebih dari
apa yang dibayangkan. Semoga tak ada mama lagi, batinnya
merafal doa. Grafik pikirannya mulai kembali ke masa sekarang.
Dua
bulan lalu, ia terpergoki mama dan keluarganya. Dan untuk sekarang, doanya
terkabul. Bukan mama dan keluarganya yang datang, melainkan orang yang jauh
lebih besar yang akan mengubah hidupnya.
Dalam
hitungan satu, dua hingga hitungan kelima pintu lemari pun dibuka, tiba-tiba
rambut anak perempuan itu ditarik oleh seorang perempuan dewasa berjilbab
lebar. Ini sudah kali kedua Naira dijambak rambutnya. Naira seperti bertanya, “Apa
ia ditakdirkan hanya untuk dijambak rambutnya ketika melakukan kesalahan?”
pikirnya, merasa bodoh.
“Kok
ramai sih, ini ada apa?” tanya Naira kebingungan.
“Kamu
yang lagi apa di dalam lemari?” tegas perempuan itu.
Naira
melihat banyak sekali orang di kamar, matanya juga menangkap sosok Tina,
temannya yang sudah terpergoki saat menjemput seorang laki-laki/pelanggan yang
biasa mereka sebut sebagai TM, singkatan dari tamu laki-laki.
“Ramai-ramai,
kita sudah tertangkap Ira!” ketus anak perempuan yang memakai baju kuning
berlapis overall hitam bernama Tina itu.
Hotel
berbintang ini seketika menjadi ramai, ada beberapa petugas Polresta Pontianak,
petinggi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kalbar, tim Komisi
Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPAD) dan beberapa anggota lainnya.
Pada
awalnya Tina menuruni tangga hotel untuk bertemu dengan TM yang sudah
dihubungi, sebelumnya Tina menyuruh tujuh teman-temannya yang berada di kamar
hotel tempatnya untuk bangun dan bersiap-siap. Namun, anak-anak itu tidak
berpindah dari kamar hotel, mereka berpencar dan bersembunyi. Ada yang di bawah
kasur putih, bersembunyi di lemari atas dan bawah, begitu juga dengan Naira. Ia
bersembunyi di lemari bawah, sementara di atas anak laki-laki berusia 17 tahun,
panggil saja Rayan. Mereka sengaja bersembunyi setiap kali TM datang, agar
tidak merasa malu ketika hendak berbuat (bersetubuh) dengan anak-anak yang
menjadi korban.
Ketika
Tina bertemu dengan TM di depan lift, di lantai paling bawah ia tertangkap oleh
ketua kebijakan publik KAMMI Kalbar, Muhammad Al Iqbal. TM tersebut kabur, ia
pergi ke monokrom hotel. Di hadapan Naira dihadapi sesosok polisi bertubuh
besar, Naira sangat panik.
“Dek
kamu tidak pengap apa di dalam?” tanya Polisisi berbadan besar itu.
“Eh
ada apa ini Om?” tanya Naira, ia membenarkan piayama berwarna birunya.
“Ada
apa, ada apa. Siapa nama kamu?” tanya Polisi itu kembali.
“Naira
Aurilia, atau Naira Putri?” tanya perempuan berjilbab yang menjambak rambut Naira
tadi.
“Naira
Aurilia,” jawab Naira.
Perempuan
dewasa berjilbab lebar itu seperti anak yang diberi uang jajan oleh orang
tuanya, sangat senang. Ia mengambil gawainya dan menelpon seseorang.
“Assalamu’alaikum
Kak.. Ira dan kawan-kawan dapat nama Naira,” ujarnya pada seseorang dibalik
gawai itu.
“Wa’alaikumsalam
warrahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah, Kakak sekarang ke sana Ra,” jawab
perempuan berparuh baya yang juga senang atas informasi yang baru didengarnya.
“Oke,
kak,” akhirnya, telpon pun ditutup setelah mengucap salam kembali.
Beberapa
pihak lain mengumpulkan dan menemukan anak-anak dan juga orang-orang yang
diduga terlibat dalam kasus prostitusi online ini.
Sementara,
Naira masih heran dengan namanya yang disebut-sebut sedari tadi, “Kak kenapa
Kakak kenal kami?”
“Kamu
memang sudah terkenal Naira,” balasnya.
“Hah
kok bisa?” tanya Naira semakin penasaran.
“Kau
ini sudah lama kena DPO,” jelas sang perempuan itu.
“DPO?
Apa itu kak?”
“Daftar
Pencarian Orang, udah-udah nggak usah banyak tanya, langsung ikut bapak Polisi
itu.” titahnya.
Naira
dan anak-anak lainnya turun ke lantai bawah. Naira berkumpul dengan pelaku
lainnya di dalam satu ruangan.
Di
luar hujan mengguyur deras, malam ini menjadi saksi perjalanan beberapa anak
yang terlibat dalam sebuah kasus yang sangat serius, termasuk Naira. Anak-anak
berusia belasan tahun ini tak menduga akan dipermalukan di depan orang banyak,
bahkan Naira tak menyangka dirinya terlibat dalam kasus pencarian polisi.
Mereka
dikumpulkan di lantai bawah hotel, banyak orang yang melihat, Naira merasa
benar-benar malu. Semua anak memakai masker, termasuk dirinya. Banyak yang
mengambil foto dan orang-orang yang melihatnya. Kini, mereka telah menjadi
pusat perhatian banyak orang.
Beberapa
waktu kemudian, seorang wanita berparuh baya, berjilbab lebar datang menghadap
anak-anak ini. Wanita itu adalah ketua KPPAD Kalbar yang telah dihubungi oleh
perempuan berjilbab lebar anggota KAMMI Kalbar, Eka Nurhayati Ishak ketua KPPAD
Kalbar.
“Ternyata
Ummi,” ujar Tiana pelan.
“Kamu
kenal Na?” tanya Naira.
“Iya
Ira, itu Ummi. Ketua KPPAD Kalbar,” jawabnya.
Dahulu,
Tina pernah bertemu dengan ketua KPPAD itu karena pernah ada dalam kasus anak brokern home, “Tina kau lagi ya! Tak
nyangka Ummi kau jual diri,” ujar Eka.
Mereka
semua tertunduk setelah mendapat nasihat dari ketua KPPAD Kalbar.
Beberapa
saat kemudian, Eka menanyakan umur masing-masing.
“Naira,”
Naira
menegadahkan kepalanya ia melihat perempuan berwajah tegas itu memandangnya.
“I..Iya
Mi,” jawabnya pelan.
“Berapa
umur kamu?”
“15
Mi,”
“Kamu
sekolah?”
“Udah
ndak Mi,”
“Di
antara semua laki-laki ini, mana cowo kamu?” suaranya semakin tegas.
“Mana
ada, ndak ada Mi,”
“Jangan
bohong Naira!” bentak perempuan yang menjambak rambut Naira dalam lemari tadi.
Lalu,
seketika seorang lelaki kurus bertubuh tinggi, berkulit hitam dan berwajah manis
itu mengangkat tangan. Doni namanya, ia berumur 23 tahun.
“Ya
Kak saya cowonya,” ujar Doni akhiranya mengakui karena tak tega melihat Naira
yang disayanginya dibentak.
Semua
pasang mata menatap laki-laki itu. Ummi melanjutkan beberapa pertanyaannya,
Tina berumur 16 tahun dan masih sekolah SMA, anak-anak lainnya berumur 15
hingga 18 tahun.
“Ternyata
kamu ya yang paling besar Doni!” tegas Eka setelah mengetahui umur Doni 23
tahun.
Selanjutnya,
mereka semua kemudian dimasukkan ke dalam mobil dan di bawa menuju suatu
tempat. Naira dan teman-temannya sangat penasaran akan dibawa ke mana. Dan
setelah sampai, ternyata mereka dibawa ke Pusat Pelayanan Terpadu (PLAT) yang
berada di Jalan Ampera, Kota Baru, Pontianak. Kecuali Dino, ia bukan dalam
hitungan anak dibawah umur lagi hingga akhirnya dibawa menuju Polresta.
Di
PLAT ini Naira dan teman-temannya diarahkan, direhabilitasi karena terdektesi
menggunakan obat-obatan narkoba, ganja dan sejenisnya. Mereka juga diberi
pengarahan agar lebih terbuka pemikirannya.
Miftah
Maziyyah, Kabid Humas KAMMI Kalbar dan Muhammad Al Iqbal – Kabid Kebijakan
Publik Kammi Kalbar
selaku
pendamping dan berkoordinasi dengan ketua KPPAD menjelaskan bahwa mereka terlibat dalam kasus
prosititusi online ini disebabkan
oleh beberapa faktor. Pertama adalah lingkungan dan teman-teman yang tidak
mendukung, awalnya hanya coba-coba hingga akhirnya terus berlanjut. Kedua
adalah faktor keluarga, hampir 99 % anak-anak yang terlibat ini memiliki latar
belakang brokern home, dan kurang perhatian
dari keluarganya, bahkan ada dua anak yang pernah dicabuli oleh ayahnya
sehingga kedua anak ini memberi lebel pada dirinya bahwa dia ‘sudah tidak
berharga’ lagi. Ketiga adalah faktor ekonomi, satu di antara anak-anak yang
tertangkap adalah karena memiliki keinginan membeli gawai baru untuk
pembelajaran daring. Faktor keempat adalah faktor pendidikan dan ruhiyyah atau spiritual yang kurang,
mereka lupa dengan masa depan, dosa, dan telah dibutakan oleh hal-hal yang
fana. Terakhir adalah faktor Covid-19, anak-anak lebih sering berada di luar
dari pada di sekolah sehingga tidak ada pengontrolan, transfer ilmu dan adab
dari guru tidak maksimal.
Beberapa
pekan setelah di PLAT, anak-anak perempuan yang terus bertambah setiap harinya.
Hal ini karena Naira dan Tina yang terus ditanya oleh Eka terkait
teman-temannya yang sedang dalam pesanan berada di hotel. Ya, bukan hanya
mereka yang terlbiat, melainkan teman-temannya juga menjual dirinya.
Akhirnya,
9 anak yang terkumpul di bawa menuju kontrakan. Kontrkakan ini di sebut oleh
mereka sebagai ‘rumah aman’ atau ‘rumah binaan’. Di rumah aman ini mereka
dibimbing, diarahkan, diberi edukasi dan mendapat pelatihan berbagai skill seperti belajar Bahasa Inggris,
memasak, menari, dan lainnya.
Ruman
aman yang terletak di Jalan Parit Haji Husin II bewarna jingga type 36
ini, menjadi saksi perjuangan para
pembina yang bersabar dalam mengarahakan anak-anak untuk menjadi manusia yang
lebih baik.
“Kapan
kami pulang, Kak?” Naira bertanya setelah beberapa jam ia mendiami rumah aman
itu.
“Kalian
itu ya, seharusnya bersyukur, mendapat Kakak-Kakak yang mau membimbing tanpa
dibayar. Mereka rela lho meluangkan
waktunya untuk mengajari kalian,” tegas Fidah, anggota KAMMI Kalbar.
Ketua
KPPAD Kalbar mendatangi rumah aman dengan sejumlah barang yang dibawanya. Mulai
dari mukena, buku iqra, peralatan masak dan beberapa permainan anak seperti
congkak, bekel, dan kartu uno. Eka membuka satgas (satuan gabungan) untuk
pembinaan anak-anak. Ada tiga hal yang ditekankan, pertama pembinaan dari segi ruhhiyah atau spiritual, kedua
pendidikan karakter, ketiga dari segi psikoligis.
Eka
bekerja sama dengan beberapa organisasi mahasiswa, pemerintah daerah, provinsi hingga
DPRD. Namun, pemantauan dan keterlibatan langsung banyak dilakukan oleh gerakan
KAMMI dan Puskomda Kalbar. Total pembina ada 22 orang, 4 di antaranya berjenis
kelamin laki-laki.
Seorang
perempuan berbadan ramping, berjilbab hitam lebar mulai mendekati anak-anak
itu. Mereka terlihat sangat asik mengobrol setelah dipertemukan dengan teman
lain yang baru dijemput dari hotel.
“Assalamu’alaikum,”
ujarnya memulai pembicaraan dengan wajah yang ramah.
Entah
karena tidak mendengar, atau memang sengaja tidak menjawab pertanyaan, anak-anak
tak acuh terhadap perempuan berjilbab syar’i itu.
Tak
menyerah, perempuan ini kembali melontarkan pertanyaan untuk menyapa mereka,
“Lagi pada ngapain nih?”
Lagi-lagi
mereka sibuk dengan barang-barang yang baru saja dibeli bersama ketua KPPAD,
mereka memakai jam barunya, mencoba sepatu baru dan beberapa barang baru yang
dibelikan oleh Eka. Eka sangat menyayangi anak-anak itu dan berusaha sebisa
mungkin untuk membuat mereka tidak stress berada di rumah binaan.
Tiba-tiba
jam Intan mati, lalu perempuan ini memiliki kesempatan untuk mencoba membantu
menghidupkannya.
“Sini
Kakak bantu Dek,”
Berhasil,
mereka semua mulai penasaran dengan sosok perempuan yang lagi-lagi baru saja
mereka temui.
“Kakak
dari mana Kak?” tanya Naira tiba-tiba.
“Dari
mana apanya nih? Alamat asal atau tempat tinggal sekarang?” tanyanya masih
dengan senyum yang ramah.
“Dua-duanya
lah,” balas anak-anak itu.
“Asal
Kakak, dari Bandung. Kalau tempat tinggal di Supadio,”
“Jauhnya
Kak,”
Perempuan
itu mengangguk
“Untuk
mencari ilmu itu kan perlu perjuangan, Kakak berkuliah di sini karena mengejar
beasiswa juga.”
Naira
mengangguk, “Wajah Kakak ndak asing,”
lanjutnya.
Sontak
perempuan itu kaget, padahal ini baru kali pertamanya bertemu dengan mereka,
“Hayo di mana? Pasaran sekali ya wajah Kakak,”
Semua
anak pun tertawa.
Azan
zuhur mulai menggema, anak-anak diperintahkan untuk salat.
“Kak,
tolong bimbing Intan untuk salat ya, Intan belum bisa bacaan salat,” ujar
Intan.
Astagfirullahaladzim, oh ya Allah, batin perempuan
berjilbab lebar ini, tak menyangka.
“Baik
Dek, Dek Intan kelas berapa?”
“6
SD Kak,”
Laillahaillallah.. batinnya
kembali menyebut nama-Nya.
Di
awal pembinaan ruhiyyah mereka sangat
kurang dalam agama, bahkan bacaan salat tidak tahu sama sekali, wudhu belum
bisa, mengaji belum bisa, mandi wajib bagi seorang perempuan belum bisa. Bahkan
di antara mereka, seumur hidup belum ada yang pernah mandi wajib, padahal
mereka sudah baligh dan perlu untuk menyucikan dirinya. Dalam Islam, semua itu
wajib dilakukan oleh seorang muslimah.
Satu
pekan berlalu, anak-anak mulai lebih disiplin dan terbiasa dalam melakukan
aktivitas di rumah aman ini. Malam hari mereka masak, ketika siang agendanya
adalah sharing, sorenya baru belajar
mengaji. Terkadang jadwal-jadwal tersebut tak beraturan karena malasnya mereka,
labilnya mereka, dan emosi yang belum terkendali.
Hari
ini mereka dihadapkan oleh seorang psikologi, mahasiswi lulusan Jawa. Ia masih
anggota dari KAMMI Kalbar. Ketika dicek psikologisnya, ternyata menurut ahli
psikolog itu, mereka memang memiliki banyak beban. Dari luar penampilan seperti
baik-baik saja, padahal dari batin dan psikis mereka terganggu. Penyebabnya
tidak jauh, yakni berangkat dari keluarga, permasalahan orang tua, teman,
ekonomi dan permasalahan lainnya.
Pada
tanggal 22 Desember 2020 hari penuh kelabu
dimulai, hari ini penuh haru, bahkan ini adalah awal peubahan dan kesadaran
bagi beberapa di antara mereka, termasuk Naira.
Malam
ini rumah aman menyelenggarakan acara. Kesembilan anak ini masih sempat
bersolek cantik, mereka memakai baju gamis yang baru saja didapat dari donasi
masyarakat. Mereka yang biasanya tidak memakai jilbab dan baju panjang, kini ketika
memakainya Nampak anggun dan elegan.
Naira,
Tina, dan Puput menghampiri perempuan yang memakai jaket Pendikar Islam Universitas
Tanjungpura itu.
“Kak
ada HP?” tanya Naira.
“Ada,
kenapa?”
“Foto
yuk Kak,” ajak Tina semangat.
Perempuan
itu baru menyadari bahwa selama dibina semua anak yang ada di sini tidak
diperkenankan memainkan gawai.
“Boleh,
yuk sini merapat,” jawabnya.
“Filter
IG dong Kak,”
“Boleh,
boleh,”
Semua
perempuan atau para akhwat (sebutan
untuk perempuan muslimah), saat melakukan pembinan diawal merasa canggung dan
tak sepemikiran dengan anak-anak ini. Akhwat-akhwat yang bertugas bergantian
memiliki cerita yang berbeda-beda saat melakukan pembinaan.
Anak-anak
yang dibina ini paling suka bermain tiktok, berjoget, berdandan dan
membicarakan hal-hal yang berbau dewasa. Tetapi, lagi-lagi para akhwat yang
membina harus bersabar mengajari mereka satu persatu.
Acara
pun akan segera dimulai, “Anak-anak ayo kumpul sini,” suara nyaring terdengar
dari mulut Farida, satu di antara pembimbing yang dekat dengan anak-anak.
Anak-anak
berhamburan berkumpul di satu titik. Terlihat tulisan ‘Selamat Hari Ibu’ yang
terlukis di papan tulis yang dihiasi oleh lampu berwarna-warni. Pembukaan pun
dimulai, anak-ana masih mengobrol, bercanda, dan tertawa. Tak ada rasa bersalah
dalam raut wajah mereka.
“Stttt,
adik-adik diam ya,” tutur akhwat lain yang berada di belakang.
Semua
masih seperti biasa, lalu saat seorang aktivis dakwah kampus yang sudah lulus
kuliah masuk dan hadir tepat di hadapan mereka, lagu Melly Goeslow pun diputar.
Seluruh lampu ruangan dimatikan, dan hanya lampu bewarna-warni tadi yang
menyala.
“Semuanya
tertunduk ya, semuanya tertunduk,” ujarnya memulai suasana yang haru.
“Pada
suatu masa, kalian akan menyadari, betapa pentingnya harga diri seorang
perempuan. Kalian akan bertanya, ‘mengapa aku melakukan hal itu dulu?’, ibu
kalian mengandung kalian, membesarkan kalian dengan teramat susah payah,
tetapi, tetapi kalian malah membalasnya dengan sakit hati yang mendalam kepada
kedua orang tua kalian.”
Wajah
anak-anak mulai memerah dan butiran embun mulai melesat menju lantai tanpa
diminta.
“Kalian
sadar tidak, anak-anak kalian nanti akan bertanya, ‘Ma, siapa yang ada dalam
berita itu? Kok Mama ada di sana? Mama ngapain?’ pertanyaan yang membuat kalian
bingung harus menjawab apa.” ujar perempuan ini dengan nada yang gemetar karena
larut dalam suasana.
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayatku
Kata, mereka diriku selalu dimanja
Kata, mereka diriku selalu ditimang
Nada-nada yang indah
Selalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritanya.
Isak
tangis yang samar mulai terdengar dengan jelas.
Tak
terasa para akhwat muslimah ikut meneteskan air matanya. Mereka ikut larut
dalam renungan mala mini karena teringat sosok yang berjuang dengan keras
merawat sejak dalam kandungan dan membesarkan diri hingga saat ini, ibu.
“Tak
ada kata terlambat Dek, kalian masih banyak waktu untuk membenahi diri. Jangan
kecewakan orang tua untuk kedua kalinya, jangan berbuat dosa kembali atau masuk
dalam dunia malam lagi. Cukup sampai pada kalian, ajarkan anak kalian yang
baik-baik. Kakak yakin, seburuk apapun orang tua tidak akan pernah mengajarkan
anaknya untuk berbuat kejelekkan. Semua orang tua selalu ingin yang terbaik
untuk anaknya, agar anaknya bisa selamat bukan hanya di dunia melainkan juga di
akhirat nanti.”
Butiran
air embun kian menetes melesat menuju bumi. Mereka tak lagi mempedulikan make up yang tadi dijaganya dengan baik.
Mata mereka seketika sembab, isak tangis memenuhi ruangan. Lalu mereka diberi
kertas dan pulpen untuk menulis harapan selanjutnya, harapan-harapan yang lebih
baik itu kembali tumbuh setelah layu dan tak tersiram sedikit pun untuk menjadi
makhluk-Nya yang taat. Lalu, kertas itu dikumpulkan sebagai saksi atas niatan
mereka untuk berubah.
Keeskokan
harinya, semua anak bersiap untuk melalukan ruqiyah. Semua anak memakai mukena
dan Naira tampak berserah. Ia ingin menjadi manusia yang lebih baik, di saat
anak-anak lain tertidur ketika ruqiyah, tidak dengan Naira, Naira berusa
menikmati alunan indah yang dibacakan oleh seorang ustaz di Pondok Pesantren
Munzalan Mubarkan yang terletak di Gg. Imaduddin, Sungai Raya, Kec. Sungai
Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Awalnya, semua mengira aka nada
reaksi dari anak-anak ini. Namun, mereka hanya merasakan pusing dan mengantuk.
Meski begitu, telah ada usaha untuk mereka kembali ke jalan yang benar. Eka,
bahkan merencanakan anak-anak untuk belajar di pondok pesantren itu, namun
lagi-lagi mereka menolak dengan alasan tidak betah.
Hari
pun berganti, semakin hari mereka semakin baik untuk dibina. Pembinaan ters
dijalankan, mulai dari pembinaan di sisi psikologi, umum, skill-skill atau keterampilan, dan tentunya diberi pengetahuan Islam,
yang harus ditingkatkan karena semakin banyak anak yang dibawa ke rumah aman
ini.
Lalu,
satu per satu anak-anak itu ada yang dikembalikan kepada orang tuanya, ada yang
dijemput, dan ada yang kembali ke sekolah, tetapi tidak dengan Naira.
Sebenarnya, hukuman untuk Naira lebih berat dari anak-anak lainnya, sebab Naira
tidak menjual dirinya, ia tidak pernah berhubungan dengan orang lain selain
dengan pacarnya, Dino. Mengapa Naira bisa mengenal sosok laki-laki yang
membutanya harus terlibat dengan dunia kelam? Mari kita lihat, hidup Naira
beberapa tahun lalu.
Saat
kecil Naira sudah diasuh oleh Uan atau nenek kandungnya karena mama Naira yang
sering pergi ke Malaysia menjadi seorang TKW. Naira selalu diasuh, dibesarkan,
dirawat dengan baik, dan selalu di antar ke sekolah oleh Uan. Namun, ketika
Naira duduk di bangku 4 SD Uan telah menghembuskan napas terakhirnya karena
penyakit tumor.
Lalu,
Naira kecil yang malang itu kembali dipelukan mamanya. Naira mendapat perhatian
dari kedua orang tuanya dengan lengkap. Meski kerapkali kedua orang tua Naira
bertengkar karena ekonomi, sebab ayah Naira yang tak bekerja, namun rumah
tangga mereka tetap bertahan.
Bapak
Naira selalu mengkhawatirkan Naira dan melarang Naira keluar rumah, tidak boleh
jalan dengan teman laki-laki, bahkan tidak ada kata malam minggu dan pacaran
bagi seorang Naira. Hidup Naira sangat baik dan penurut waktu itu. Sang ayah
memiliki sikap penyabar dan lembut, namun sekali marah akan sangat menakutkan,
itu yang membuat Naira selalu menuruti kata-kata ayahnya.
“Naira
lebih dekat sama mama daripada bapak,” ujarnya menceritakan masa kecilnya.
Ketika
waktu terus berjalan, Naira yang duduk di SMP kelas 8 kini kehilangan sosok
ayahnya. Ia sedih, selalu menangis, dan merasa sangat kehilangan. Ayahnya
meninggal lagi-lagi sebab penyakit tumor yang sama seperti almarhumah neneknya dulu. Tahun 2018 itu menjadi tahun kesedihan
bagi Naira. Naira, anak yang selalu mendapat perhatian dari orang tuanya dan
ketegasan dari ayahnya, kini tak akan merasakannya lagi. Bahkan semenjak itu, Naira
tidak lagi menjadi seorang remaja pada umumnya.
Setelah
ayahnya meninggal Naira merasa bebas, dan berteman dengan lingkungan yang tidak
sehat. Ya! Teman-temannya selalu bersikap ‘dewasa’ sebelum waktunya. Naira
mulai bermain dan berpergian, masuk dalam lingkaran maksiat tanpa ada yang
melarangnya lagi. Naira kala itu masih belum tewarnai oleh teman-temannya,
namun suatu ketika dia melihat laki-laki asing di rumahnya. Sepasang mata Naira
yang bulat itu menangkap mamanya dan laki-laki itu tengah berduaan dalam rumah.
Mama
Naira langsung menghampiri Naira, “Mama sudah menikah,” ujarnya sebelum Naira
melontarkan pertanyaan.
Naira
terdiam kaku, “Mama udah bilang sama abang?”
“Udah,
Pak Long yang jadi saksinya,” jawabnya.
Keesokan
harinya Naira bertanya kepada Pak Long, namun Pak Long mengatakan tidak tahu
apa-apa. Dan lagi, belum sembuh kesedihannya atas kepergian ayahnya, Naira pun
sudah dibuat sangat kecewa oleh mamanya.
Semangat
Naira mulai redup ketika ia duduk di kelas 9 SMP, ia tak pernah belajar dengan
sungguh-sungguh seperti biasanya. Ia hanya sekolah dalam seminggu terhitung
satu atau dua kali saja. Naira mulai malas, perhatian dari guru-guru mulai
pudar, bahkan mama Naira yang terus mengocehnya tak pernah ia hiraukan.
Naira
yang hatinya sudah sangat rapuh kala itu, mulai dekat kembali dengan
teman-teman yang sudah lebih lama terjerumus dalam pergaulan bebas. Saat
matahari tepat berada di atas kepala, Naira menghampiri mereka dan duduk di
samping mereka.
“Naira,
pinjam HP,” ujar temannya beranjak dari tempat duduk dan langsung mengambil
gawai Naira tanpa menunggu Naira berkata, “Iya,”
Lalu,
teman-temannya itu meminta bantuan. Dengan polosnya Naira mengikuti segala
permintaan yang diajukan padanya. Beberapa temannya masih seusia, namun ada
juga yang lebih tua satu atau dua tahun. Naira memiliki pacar, dan suatu ketika
saat rumah Naira sepi, tidak ada mama dan abangnya, Naira membawa pacarnya ke
dalam rumah. Tak bisa disangkal bisikan setan hadir ditengah-tengah mereka, dan
menceburkan mereka dalam dosa besar. Ya, itu adalah awal perbuatan Naira yang
membuat Naira melangkah lebih besar mendekat pada kubang dosa dan maksiat.
Setelah merasa bosan dengan Naira, pacarnya meninggalkan Naira begitu saja.
Saat
SMA kelas 1.
Suatu
ketika Naira pergi bersama teman-temannya hingga larut malam, abang Naira mulai
khawatir dan menasihati adik satu-satunya itu. Lalu, Naira pernah berjanji akan
pulang sore, lagi-lagi ia terlena bersama teman-temannya hingga pulang larut
malam.
Abang
Naira pun marah, “Udahlah ndak usah
pulang-pulang kau ya! Nanti ku bakar baju kau!!” nada suaranya meninggi.
Naira
pun melaksanakan ucapan abangnya yang bukan perintah sebenarnya, alhasil Naira
tidak pulang. Tak tanggung-tanggung, Naira tidak pulang ke rumah selama satu
bulan.
Banyak
hal yang terlewatkan dalam dirinya, terutama menuntut ilmu di bangku SMA. Tahun
2020 ini menjadi awal Naira tidak menyirami dirinya lagi. Sekarang, seharusnya Naira
kelas masuk SMA namun Naira memilih kesangan yang sementara. Naira mulai kenal
dengan Doni, bukannya lebih baik, malah sebaliknya. Naira semakin kenal dengan
prostitusi online. Ia selalu mendapat
uang dari teman-temannya yang ia ajak untuk menjual dirinya.
Naira
sendiri tidak menjual diri karena Doni, pacaranya melarangnya. Bahkan Naira
mengaku takut jika menjual dirinya. Tina satu di antara teman Naira yang
mengikuti kata-kata Naira, bahkan Tina selalu mentraktir Naira untuk berbelanja
baju,. Makanan, jalan-jalan dan lainnya.
Sedari
dulu Naira memang tidak hidup dalam spirutal yang baik, bahkan memang tidak ada
perintah berjilbab dari ayahnya, mamanya pun demikian. Walau begitu, Naira
mengaku mamanya tak pernah meninggalkan salat, dan Naira selalu diperintahkan
untuk salat. Namun, Naira tak pernah disiplin dalam beribadah bahkan tak sama
sekali ketika ia sudah berurusan dengan sabu, seks, dan kesenangan maksiat
lainnya.
Saat
semua anak-anak sudah dipulangkan oleh orang tuanya, Naira harus menahan
kerinduannya untuk pulang. Ia harus memanjangkan sabarnya sedikit lagi. Ia
memang terduga sebagai mucikari, karena mengarahkan teman-temannya menjual
dirinya. Namun, sebenarnya Dino lah mucikari itu, karena memperalat Naira untuk
melakukan semuanya, bahkan gawai Naira ditahan di hotel sebagai jaminan hanya
karena Dino tidak sanggup membayarnya.
Setiap
kali Naira diajak ke rumah Dino, Dino dan Naira merasa sangat bebas, orang tua Dino
telah lama bercerai. Setiap kali Naira menginjakkan kaki di rumah Dino, bapak Dino selalu mengurung diri di kamar.
Maka, jadilah kedua pasangan yang belum halal ini bermaksiat dan melakukannya
suka sama suka, tidak ingat dosa, dan tidak memikirkan masa depan.
Namun,
semakin Naira belajar dan mendapat bimbingan di rumah aman ini Naira semakin
sadar bahwa hidup bukan hanya untuk kesenangan sesaat. Naira ingin berubah dan
tumbuh lebih baik. Ia tidak akan pernah melupakan kejadian ini, saat pertama
kali ditangkap ia merasa sangat menyesal. Bahkan Dino, saat ini tidak ada
disisinya, Dino kabur setelah 1 hari dibebaskan dari penjara. Sekarang, Dino
masih berada dalam status buronan.
Sementara
itu, menurut Muhammad Al Iqbal, hukuman yang dilakukan itu sangat minim
terhadap pelaku dan mucikari, sebab sesama mereka yang menjadi pelaku dan juga
di bawah umur, termasuk Naira. Beberapa diantaranya pernah terlibat kasus yang
sama, dipulangkan kepada orang tua dengan menandatangani materai dan pada akhir
kembali pada dunia yang kelam. Pembinaan itu sebenarnya tidak bisa sebentar,
seharusnya konsisten, dan berkelanjutan. Namun, karena keterbatasan dan tidak
ada dukungan dari pemerintah yang memadai maka pembinaan ini hanya dilakukan
berbulan-bulan saja.
Kini,
bulan Januari 2021, masa kontrakan
rumah aman habis. Eka juga sudah banyak mengeluarkan uang dan tak mampu untuk
menyewa rumah lagi. Lalu, semua anak-anak ini di bawa ke Dinas Pemberdayaan Perlindungan
Perempuan dan Anak (PPPA) yang terletak di Jalan Sultan Abdurrrahman No.101, Sungai Bangkong,
Kecamatan Pontianak Kota, Kalimantan Barat 78116, untuk tempat baru ini petugas
satgas KAMMI dan Puskomda Kalbar sangat kewalahan untuk kembali mengondisikan, bahkan
dua orang anak kabur dan berhasil ditemukan lagi dengan memancing berpura-pura
sebagai pelanggan.
Seorang
perempuan berjilbab cokelat dan bergamis hitam itu dengan anggun membawa
laptop, membukanya dan mengajak anak-anak untuk berkumpul.
“Kak,
Naira mau nonton youtube boleh?”
“Boleh,
tapi nonton apa dulu nih?” Perempuan berjilbab panjang itu tak mau melewatkan
kesempatannya untuk membina.
“Mau
liat lagu-lagu lah kak, biar ndk
bosen,” tuturnya merajuk seperti anak kecil yang tak diberi jatah uang jajan.
“Oh
gitu ya, nah daripada dengarkan hal yang kurang bermanfaat, terus lihat orang
jogged-joged lebih baik kita nonton ini,”
“Apa
tuh kak?” ujarnya penasaran, anak-anak lain mulai memperhatikan.
“Ini,”
ia menunjuk layar laptop.
Anak-anak
melihat lamat-lamat, “Mana kak,”
“Eh
tunggu ya, koneksi internetnya belum terhubung, hehe,” ujarnya bercanda.
Beberapa
menit kemudian, laptop itu sudah terkoneksi dengan internet dan munculah judul
10 alasan neraka
banyak di huni kaum wanita. Mereka lalu menyimak dan mulai takut akan
penjelasan di video tersebut.
“Eh
jangan takut, selama napas kita masih berembus masih ada kesempatan untuk
berubah, ingatlah bahwa pendosa sekali pun jika bertaubat akan menjadi emas dan
mutiara, asalkan taubatnya benar, lurus, istiqomah, dan tidak mengulangi setiap
perbuatan,” ujarnya berusaha menenangkan mereka.
Lalu,
perempuan berwajah manis nan teduh itu memutar video selanjutnya, ia memutar
video tentang kesenangan berada di surga. Perempuan ini menjelaskan di surge
apa yang diinginkan pasti tercpai.
“Kita
juga kalau mau HP, emas dan lain-lain ada?”
Benar-benar
pikiran mereka tentang dunia, tetapi perempuan ini tetap sabar menghadapi
pikiran mereka.
Perempuan
ini tersenyum, “Jangankan HP atau emas, arak juga ada,”
“Apa?
Kok, bukannya itu haram ya Kak?”
“Arak
di surga itu tidak memabukkan seperti di dunia, nah itulah keadilan Allah,
membalas semua kesabaran dan kesenangan yang kita tahan selama di dunia, maka
surge itu mahal sebab perjuangannya tidak mudah Dik Adik,”
Mereka
mengangguk-angguk dan selalu berdiskusi panjang lebar tentang renungan
kehidupan. Saat perempuan itu meninggalkan mereka, dan mendatangi mereka
kembali mereka tetap memutar video dakwah seperti video Ustaz Hanan Attaki yang
berdurasi 1 menit. Mereka menyimak dan terhanyut di dalamnya.
Waktu
berlalu, satu persatu anak mulai dipulangkan karena satgas sudah kelelahan dan
dana pun tak memadai untuk mengurus mereka. Meski begitu, KPPAD, satgas KAMMI
dan Puskomda Kalbar, juga beberapa aktivis kampus sudah optimal menjalankan
usahanya demi mengubah kehidupan anak-anak ini lebih baik.
Dari
awal, mereka melakukan pendekatan terlebih dahulu, bertanya mengapa anak-anak
ini terjerumus ke lemabah hitam. Lalu, mengajari mengaji, sholat, sebab ibadah
mereka kurang. Tim satgas mau tidak mau harus masuk terlebih dahulu ke dunia
mereka, sehingga anak-anak ini nyaman dan tidak segan untuk bercerita. Saat
dibina respon yang terjadi sangatlah
bermacam macam, ada yang menurut, ada yang menolak, kadang menurut semua kadang
menolak semua, itu tergantung suasana hati mereka. Diawal, satgas memang
sedikit kewalahan, apalagi saat dibina oleh kakak A, lalu datang kakak B karena
pergantian jadwal jaga itu sangatlah susah. Namun, para aktivis ini memang
patut diacungi jempol karena dapat memanjangkan sabarnya, memegang prinsipnya,
dan bekerja dengan ikhlas tanpa imbalan apapun selain balasan dan mengharap
ridha-Nya, mereka dengan senang hati melakukan yang terbaik.
Meski
pembinaan sudah optimal, namun pembinaan ini tidak maksimal karena memang
terbatas dengan waktu, sumber daya manusia, dan dana. Beberapa anak sudah
dikembalikan namun sebagian dari mereka kembali ke dunia hitam bahkan sangat
parah. Maka, pencegahan orang tua untuk diberi penyuluhan itu perlu, sekolah
juga seharusnya diberi penyuluham untuk mengadakan pembinaanup sebagai upaya
agar mereka yang terjun bisa dibina dengan program yang berkelanjutan dan kondisi
yang memadai. Bahkan setiap pelaku yang terlibat seharusnya dihukum degan
berat, perlu adanya regulasi yang baik agar ada pencegahan penanganan yang
maksimal.
Karena
jika tidak dibina secara berkelanjutan, minim sekali untuk mereka tidak
terjurumus lagi. Namun, saat dibina mereka juga sudah diedukasi, mengenai
kesehataan reproduksi, kesehatan tubuh, dan lainnya yang membuat mereka sadar
bahwa pergaulan mereka tidak sehat dan membahayakan diri sendiri. Satgas KAMMI
dan Puskomda Kalbar sangat berharap ketika mereka bertemu dengan anak-anak
kembali, semoga lebih baik dan berubah, serta menginginkan mereka tidak
terjerat dalam kasus yang sama lagi.
Satu
di antara petugas satgas ini melihat barang-barang yang dikemas untuk
dipindahkan ke rumah Eka, pegabdiannya telah selesai, tetapi kontribusinya
tidak akan pernah selesai. Ia ingin memberdayakan anak-anak untuk selalu lebih
baik dari sebelumnya. Melihat suasana, ia mengenak kejadian-kejadian yang
sangat banyak dialaminya. Mulai dari
membangunkan anak-anak yang susah dibangunkan ketika salat subuh, ia yang
pernah dibohongi oleh anak-anak, mengejar anak-anak yang kabur bahkan pernah
hampir terkena serpihan kaca karena dilempar saat anak-anak berkelahi,
anak-anak yang selalu menyuruh membeli sesuatu, mulai dari makanan hingga
perawatan untuk wajah. Bukan hanya perempuan ini yang merasa sedih atas
perpisahannya, melainkan juga Eka selalu ketua KPPAD yang selalu dekat bersama
anak-anak ini.
Terkadang,
penampilan mereka lebih dari umur mereka, dewasa, bahkan cara berbicara mereka
lebih dewasa, namun disaat tertentu mereka masih memiliki sifat manja dan
terlihat sekali mereka masih seperti anak-anak. Maka sekali lagi, memang, menjaga
dan memberi edukasi sejak dini itu perlu, anak-anak harus diperketat penjagaan
baik oleh orang tuanya maupun gurunya, apalagi di masa Pandemi Covid-19 ini.
Lalu, pemahaman agaman memang harus ditanamkan sejak dini, sebab mereka minim
sekali ilmu pengetahuan agama.
Naira
bersandar, ia kini berada di rumah Eka, ketua KPPAD itu sangat perhatian dengan
Naira. Naira memikirkan langkah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Sebab,
teman-temannya sudah tidak berada dekat dengannya lagi, bahkan sebagian masih
ada yang kembali ke dunia malam, termasuk sahabatnya Tina.
Rasa
malu selalu berkecamuk dalam hatinya, bahkan tetangganya sudah mengetahui kasus
Naira. Naira benar-benar menyesal atas kesalahan yang dilakukannya. Naira
teringat dahulu cita-citanya ingin berkuliah untuk menjadi seorang guru Bahasa
Inggris. Naira
memiliki harapan dan tekad untuk tidak mengulangi perbuatannya, ia berharap
ingin menjadi sosok yang lebih baik lagi, tak meninggalkan sholat, tidak
pacaran, tidak menjual diri dan mau melanjutkan sekolahnya, pergi ke
kajian-kajian, berkumpul dengan teman-teman yang lebih baik.
Maka
memang, lingkungan, pendidikan, iman atau spiritual sangat penting ditanamkan
sejak dini pada anak. Guru harus memberikan edukasi moral dan sikap yang
penting diperhatikan oleh anak. Orang tua harus berperan dalam pertumbuhan anak,
tanpa kurangnya perhatian.
Eka
menghampiri Naira yang sedang melamun, “Naira, orang tua kamu masuk penjara
karena penggunaan sabu, Ummi mau mengirim kamu ke Yogyakarta, kamu di sana akan
lebih baik daripada di sini,” ujar Ekka memeluk Naira.
Naira
hanya mengangguk dan pasrah, ia sudah tahu sifat mamanya bagaimana, jad ia
tidak heran jika mendengar kabar itu. Lalu, ia diantar oleh abangnya, tiket
uang pesawat ia dapatkan dari Eka dan sebagian dari keluarganya yang masih
peduli padanya. Naira tak pernah melihat mamanya lagi, ia memulai hidup baru
dengan diri yang baru untuk mencapai sesuatu hal yang lebih baik. Kini, Naira
seperti bunga layu yang akan mulai tumbuh
lebih indah, lebih tinggi, dan lebih baik dari sebelumnya. Naira mulai
berencana untuk sekolah pada tahun ajaran baru 2021 ini dengan meninggalkan
semua masa kelamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar