Penulis: Erisky Aprinia
Penyunting: Angga Laena Siti Patimah
Korpora.id, Pontianak - Tanggal 11 April 2021. Dua, tiga dentuman sesekali mengguncang sungai Kapuas,
Pontianak. Tak diherankan, transisi dari bulan sya'ban ke bulan Ramadhan yang
menjadi menopang dagu umat muslim.
Terutama
masyarakat muslim Pontianak yang menjadikan moment ini tidak hanya sebagai
penambah ibadah kebajikan, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai budaya yang
diselaraskan dengan menyambut bulan suci ramadhan dan hari raya idul fitri.
Persiapan
demi persiapan diperhatikan dalam menyambut bulan penuh berkah ini. Terutama
masyarakat pesisir Sungai Kapuas yang dengan penuh semangat turut memeriahkan
bulan suci ramadhan dan hari Raya Idul Fitri dengan membuat meriam karbit.
“Satu..duaaa..satu..
dua, tarik yang bagian itu,” ucap pria berbadan tinggi hidung mancung keturunan
Arab dari balik meriam. Muhammad Dika Al
Syaus, satu diantara panitia meriam karbit yang
sedang menarik badan mariam untuk
dinaikkan ke lapangan luas yang dijadikan tempat
pembuatannya.
Masyarakat biasa mengenalnya dengan panggilan Mamad, seorang pemotong kambing
yang terkenal jago, rajin, pekerja keras dan tegas di tempatnya
tinggal.
Proses
menaikkan meriam berlangsung selama tiga hari bergantung
pada panitia yang bisa menyempatkan diri. Namun berdasarkan target pembuatan,
sebelum masuk bulan suci ramadhan mariam-meriam itu sudah harus berada
dilapangan. Karena proses ini cukup menguras tenaga, belum lagi teriakan
semangat yang cukup mengundang haus. Memang lebih tepat diselesaikan sebelum
bulan ramadhan. Mariam yang ketiga mulai mendatar ke lapangan.
Tempat
tinggal Mamad tidak jauh dari lapangan tempat Mariam karbit dibuat. Hanya
berjarak kurang lebih 20 meter dari rumahnya. Mamad selalu jadi kepala bagi
anak-anak muda yang lain dalam melaksanakan kegiatan. Sehingga apapun keputusan dan yang akan dilakukan selalu menunggu
pendapat dan persetujuan Mamad.
Kampung
Bansir begitu riuh dengan gelagat pemuda-pemudanya yang bersemangat. Ditambah
anak-anak kecil yang menonton dan ikut bersorak.
Seirama
dengan sorakan anak-anak dipinggiran sungai itu terdengar suara anak berumur 3
tahun dengan kulit putih yang didapatkan dari ibunya,
tak lain yaitu anak kedua Mamad yang berjenis kelamin laki-laki,
rasa ingin tahu yang kuat ia dapatkan dari Abinya. Setiap hari anaknya menonton
proses menaikkan meriam karbit ke lapangan untuk
diperindah. Dengan dibawa oleh ibunya yang bernama Echi.
Mamad
memiliki dua orang anak. Anak pertamanya perempuan yang bernama Yumna dan anak
keduanya laki-laki bernama Rafisqi. Umur anaknya terpaut 3 tahun, jarak yang
ideal untuk sepasang anak. Harapannya, supaya Yumna bisa menjadi kakak yang
bisa menjaga adiknya nanti. Jika dihitung keseluruhan
Mamad memiliki anak bungsu yang telah meninggal dunia. Anak ketiganya itu
meninggal sebelum genap 40 hari bahkan 1 bulan. Kata orang itulah tabungannya
diakhirat kelak.
Pada
tahun 2012 merupakan hari bahagia bagi Mamad. Karena telah meminang pujaan
hatinya. Tak butuh waktu lama baginya menjalin kasih sekitar 6 bulan lebih
karena kepastian lebih penting menurutnya. İa tak mau membuat belahan jiwanya
itu merasa diberi harapan palsu. Sehingga Mamad memutuskan untuk meminang Echi.
Tepat ditanggal 9 November Mamad dan Echi telah sah
menjadi pasangan suami istri.
Mamad
dan Echi tinggal
di daerah yang sama yaitu Kampung Bansir. Jodoh siapa yang tahu, seperti Mamad
dan Echi yang tinggal sekampung
namun ternyata berjodoh. Kala itu Echi baru 5 bulan lulus SMK namun sudah
memiliki pikiran dewasa untuk bisa menjadi seorang istri. Karena itu
masyarakat sekitar mengenal baik keluarga kecil ini.
“Haha
dulu pacarannya disini. Tapi jarang deh,” ucap seorang pemilik cafe sambil mengingat-ingat
moment Mamad dan Echi
Mereka
memang lebih sering menghabiskan waktu berdua dirumah. Karena lebih menghemat
biaya pada masa pacaran dulu. Selain itu, kedua orang tua mereka sudah saling
mengenal. Jadi tak diherankan mereka lebih memilih rumah untuk tempatnya
bertemu rindu. Walaupun tinggal satu kampung mereka membatasi
pertemuan mereka supaya ada ruang untuk rindu bertamu.
“Seingat
kakak mereka hanya malam mingguan saja nongkrong disini, hari-hari lain kakak ndak
perlah lihat,” sambung wanita berkulit putih bertubuh besar itu.
Memang
malam minggu merupakan malamnya bertemu rindu.
Malam yang dijadikan pemuda pemudi untuk lebih saling mengenal satu sama lain. Malam yang panjang untuk melepas lelah dari malam-malam yang
sebelumnya.
Begitu juga Mamad dan Echi, bedanya mereka selalu mencari cara sederhana untuk
berjumpa yaitu pergi ke cafe yang terletak tak jauh dari rumahnya.
Mamad memang bukan pemuda yang bisa memanjakan pacar
dengan tempat yang mewah. Tetapi ia tahu cara mencintai dengan sederhana.
Sehingga itulah yang menjadi pondasi hubungannya sehingga bertahan dan harmonis
sampai saat ini, tak lupa dengan dua bua hati yang menjadi hadiah kesetiaannya
selama ini.
“Bang,
yang bagian sini bagaimana?” ucap salah seorang pemuda.
“Tarik bagian sini dulu, lalu tarik yang itu,” ucap Mamad.
Banyak
warga yang menonton proses menaikkan meriam karbit. Hal ini biasa terjadi, sebagai
dukungan dan rasa bahagia menyambut bulan suci ramadhan. Mereka
juga menyiapkan makanan ringan dengan minumannya. Sesekali
mereka rolling supaya makin mempererat kepedulian dan kebersamaan
mereka.
“Air, air. Istirahat dulu nanti lanjut lagi.” panggil Maklis sambil meletakkan air dan makanan.
“Ayo kesini, minum dulu. Kalo tak minum nanti saya yang minum.” gurau salah seorang warga.
Langkah
mereka begitu cepat dan saling bersahutan pelan. Beberapa ada yang masih setia
dengan tali tambang ditangannya. Tali tambang yang mereka gunakan untuk
menaikkan meriam ke lapangan dari sungai. Terutama Mamad
yang masih setia memegang palu untuk menegakkan kayu yang akan dijadikan
pengikat tali tambang.
“Minum dulu hei baru lanjut.” teriak Maklis kemudian.
Pemuda
memang penopang bangsa, semangatnya juga kemajuan untuk bangsa. Begitupun
pemuda-pemuda Bansir yang selalu semangat menghidupkan semangat di
kampungnya
“Setiap tahun memang meriam karbit selalu dibuat.” kata Puteh, masyarakat setempat.
“Tahun kemaren kita nggak buat, ditempat lain juga. Karena kan lagi pandemik jadi dilarang.” sahut Firda.
“İya, Alhamdulillah tahun ini dibolehkan buat lagi karena malam lebaran tanpa meriam karbit disini rasanya hampa sekali. Tidak meriah.” lanjut puteh.
“Untung ada pemuda-pemuda bansir ini yang mau turun tangan meminta izin sama pemerintah.” celetuk Mbok Pah.
Mamad
termasuk ke dalam jajaran kepengurusan di komunitas Persatuan Pemuda Bansir
yang diketuai oleh Bang Boan. Mamad berpikir
tak perlu menjadi ketua untuk berkontribusi, makanya ia tak pernah mau jika
ditunjuk sebagai ketua. Ia hanya ingin membantu sesuai yang ia mau.
Komunitas
Persatuan Pemuda Bansir merupakan komunitas yang didirikan oleh orang-orang
yang berdomisili di Kampung Bansir terutama bansir 1,2 dan 3.
Komunitas ini pun berdiri atas dasar inisiatif pemuda-pemuda Bansir yang
dianggap dapat menjadi jembatan untuk masyarakat kampung bansir.
Seringkali
jika ada peringatan hari besar komunitas ini yang turun andil dalam memeriahkan
hari besar seperti membuat acara, perlombaan dan lain-lain. Masyarakat
sekitarpun merasa sangat terbantu dan terayomi dengan adanya komunitas ini.
"Biasalah buat-buat acara supaya meriah. Biar masyarakat terbantu dan meningkatkan kebersamaan juga.’’ kata Mamad.
Namun
sangat disayangkan, sudah sejak 1 tahun terakhir komunitas ini seperti meredup
seakan hilang ditelan bumi. Kesibukan masing-masing anggota pengurus membuat
komunitas ini hampir tinggal nama. Selain itu adanya pandemi membuat komunitas
ini sulit bergerak dikarenakan hari-hari besar yang tak boleh diselaraskan
dengan adanya acara-acara.
Dengan
diizinkannya kembali kegiatan menghidupkan meriam karbit untuk memeriahkan
malam takbiran ini membuat semangat kembali pemuda-pemuda bansir. Walaupun
dengan catatan ditiadakannya festival. Tidak menggoyahkan
semangat mereka untuk membuat Meriam.
“Yang itu dipegang kuat-kuat.” ucap Ari, satu diantara pemuda bansir yang ikut dalam kepanitiaan pembuatan Mariam karbit ini. Ari berkedudukan sebagai humas dalam agenda ini. Sehingga pemuda yang lain juga akan menerima masukan darinya.
Dalam
pembuatan Mariam karbit ini juga dibentuk kepanitiaan. Hal ini dilakukan demi
kelancaran dalam pembuatan Mariam karbit.
“Kepanitiaan ini hanya syarat aja supaya ada koordinasi masing-masing tugas. Namun tetap saja kami melakukannya bersama.” ucap Bowo.
“Karena kalo nggak gitu, mereka cuma mau kerjakan bagiannya saja. Padahal jika sudah dilapangan harus turun semua biar cepat selesai.” sambung Ipan.
***
Tiga
batang kayu beringkai berbaris rapi menyusun diri menunggu giliran untuk
dibenahi. Kayu beringkai merupakan bahan utama dalam pembuatan Mariam karbit.
Kayu ini setara kuatnya dengan kayu jati. Selain kayu bahan lain yang diperlukan
berupa rotan, kain, paku dan bahan penunjang lainnya.
Beberapa
pemuda sedang melihat-lihat kondisi kayu. Beberapa ada yang menyiapkan bahan
dan merapikan lapangan. Dengan dua buat lampu berkekuatan Watt yang
tinggi kemudian ditemani musik disco yang
semakin menambah semangat mereka.
“Ngga, tolong liat kayu yang itu.” suruh Mamad kepada salah satu pemuda.
“Yang ini ada bagian yang rusak Bang.” ucap Angga, salah pemuda bansir yang selalu antusias membantu setiap kegiatan-kegiatan.
“Kayu yang itu terakhir saja lah di kerjakan.” Tegas Bg Kucai selaku panitia Mariam karbit.
Mereka
menyelektif kayu yang akan mereka gunakan karena telah
terendam di sungai dalam waktu yang lama. Ketiga kayu itu merupakan daur
ulang meriam karbit yang mereka buat setahun yang lalu. Karena ditiadakannya
festival membuat persiapannya pun tidak membutuhkan biaya yang banyak, apalagi
sampai harus mengirim proposal. Sehingga alternatif lain yang mereka punya
yaitu menggunakan kembali kayu lama yang sebelumnya pernah digunakan.
Inisiatif
ini berotak dari Mamad dan disetujui pantia lain. Mengingat
ditiadakannya festival mereka sepakat menggunakan kayu meriam yang
lama. Mereka juga memperkirakan pengunjung yang tidak akan terlalu ramai mengingat
masih dalam masa pandemik Covid 19. Mereka memperkecil pengeluaran sebisanya.
Meriam
yang sebelumnya terbelah dua kemudian disatukan kembali. Proses ini memerlukan
beberapa tenaga. Dengan menyatukan kekuatan mereka mulai mengatupkan kedua
belah meriam menggunakan tali tambang kembali. Meriam yang telah terkatup
dengan sempurna harus diikat kembali menggunakan rotan.
Dengan
lihai mereka menyilangkan rotan ke badan meriam. Sebelumnya itu sisi-sisi
meriam yang memiliki celah mereka tutup menggunakan kain. Barulah kemudian
diikat dengan rotan. Hal ini bertujuan agar Meriam tidak pecah ketika
dihidupkan nanti. Ruang yang boleh ada di bagian meriam hanya pada
lubang kecil tempat untuk menyuculkan api pada meriam dan juga bagian depan
sebagai tempat keluarnya bunyi yang menggelegar.
Tanggal
19 April satu buat Mariam telah mereka selesaikan. Dalam waktu delapan hari
mereka telah menyelesaikan satu buat Mariam. Bukan asal buat, itulah hasil
pengerjaan yang mereka lakukan dari pulang sholat teraweh hingga bertemu sahur.
Pembuatan yang dimalam hari ini, karena siang rawan kelelahan dan haus.
Tak
hanya panitia, pemuda atau orang tua diluar kepanitiaan pun kerap membantu
proses pembuatan meriam karbit. Bahkan ada yang dari gang sebelah.
“Bantu-bantu
sedikitlah, dari pada menonton saja kan. Sekalian olahraga,” ucap Lamber
bapak-bapak dari gang sebelah yang sedang membantu pembuatan meriam karbit.
Dari
arah Timur tampak ketua RT Kampung Bansir sedang
memperhatikan mereka. Pak Amok tampak mondar-mandir menyaksikan pekerjaan
panitia Mariam karbit. Sesekali juga ia menyuguhkan minum untuk mereka yang
sedang membuat Mariam.
“Saya selalu mendukung hal baik yang dilakukan pemuda-pemudi disini, bahkan jika saya dibutuhkan, insyaallah saya pasti bantu.” kata Pak Amok.
“Kemarin
mereka minta sumbangan, saya bilang cantumkan nama saya. Karna terkadang
membawa nama RT akan lebih mudah menarik
penyokong, kan dek.” lanjutnya sambil melihat istrinya.
“Iya, tak mungkin juga kita tidak bantu. Kan sudah tugasnya juga” lanjut Dedek istri Amok.
Dana lain yang mereka gunakan merupakan hasil dari
meminta sumbangan ke rumah-rumah warga. Sumbangan yang mereka dapat dari
rumah-rumah warga ini mereka gunakan untuk keperluan meriam. Alternatif ini
mereka gunakan selain membuat proposal. Bagi mereka, selain hanya meminta
sumbangan dengan begitu masyarakat setempat juga menyumbangkan semangat dan
kebersamaannya.
“Kapan nih mulai menaikkan meriam?” tanya wawan saat pemuda-pemuda meminta sumbangan kerumah warga
“3
hari sebelum Ramadhan Bang,” jawab Ipan sebagai koordinasi
sumbangan.
“Ohh siplah.” lanjutnya.
Mamad
mulai mengambil lagi kayu berikutnya untuk dibenahi. Dengan topi yang
dikebelakangkan ala-ala anak muda ia mulai merapikan sisi-sisi meriam. Pasukan
semakin berkurang karena waktu sudah terlalu larut dan satu meriam telah
terselesaikan pikir mereka.
Dentuman
Mariam karbit memang tak mengenal waktu. Terkadang berbunyi pukul 11 malam.
Warga pesisir sungai kapuas pun sudah
tak heran dengan bunyinya. Walaupun terkadang harus terbangun dari tidurnya
saat mendengar suara dentuman itu.
“Meriam
memang paling sering dihidupkan dimalam hari, terkadang
juga pukul 1 malam saat warga sudah terlelap tidur. Tidak ada alasan lain, hanya
untuk bersenang-senang,” ucap Mamad.
Pukul satu lapangan memang sudah semakin sepi, beberapa akan pulang lebih dulu karena subuh harus membangunkan orang sahur. Beberapa masih setia dilapangan. Ada yang sekadar melihat, karena sudah membantu dari awal. Ada yang masih setia dengan palu dan kapaknya.
Tanggal
26 April dua meriam sudah bersejajar rapi. Mamad
masih menilik meriam-meriam yang telah jadi. Sedikit kekurangan diperhatikan
untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan.
Tak
seperti biasanya, kali ini Mamad selesai lebih dulu. Dikarenakan sudah h-2
Minggu akan memasuki hari raya idul Fitri, Mamad harus merangkap pekerjaan
lain. Seperti menyiapkan kayu-kayu untuk membuat panggar tempat meriam karbit
nanti diletakkan untuk dipertontonkan.
“Bang berarti harus diukur dulu ya biar tau nanti berapa diperlukan kayunya?” tanya Bowo salah seorang pemuda.
“Iyalah, biar pas. Lebihkan satu dua tangkai, jangan sampai banyak.” jawab Mamad.
Pukul
10 lewat Mamad bersama bg Kucai hijrah ke lokasi panjar yang akan dibuat untuk
mengukur tempat. Dengan ditemani dua pemuda lainnya.
Mereka
mulai mengukur tempat tersebut. Lokasi yang dipilih ini memang agak jauh dari
lapangan tempat pembuatan meriam. Namun disini memiliki pemandangan yang
strategis untuk pengunjung menonton Mariam karbit. Biasanya akan dibuat
panggung untuk para tamu undangan seperti sultan, wali kota, gubernur dll. Akan
tetapi tahun ini panggung tidak akan dibuat.
“Kalo
festival baru ada panggung karena kalo festival pasti ada tamu-tamu penting
yang hadir seperti wali kota, sultan, gubernur dll lah.” ucap Iyan salah seorang
pemuda.
Walaupun
terdapat dua buah rumah disebelah kanan dan kiri dari lokasi panggar
Mariam karbit tidak membuat warga merasa khawatir karena sudah terbiasa. Sudah
bertahun-tahun warga tersebut tinggal disana. Mereka tak keberatan dengan
adanya panggar yang dibuat disebelah rumahnya.
“Tempat ini kan memang dijadikan panggar Mariam karbit dari dulu sebelum saya tinggal disini. Jadi ya tidak masalahla, walaupun awalnya saya harus jantungan dulu karena belum terbiasa kan.” ucap Iwan warga yang tinggal di sebelah kanan dekat dengan panggar Mariam karbit.
“Kami memang sudah biasa mendengar Mariam karbit karena kami juga tinggal didaerah sini sebelumnya. Tetapi memang baru kali ini bersebelahan langsung dengan sumber bunyinya ya tetap kaget juga." lanjut istrinya.
Lapangan
masih riuh dengan ketukan palu yang menghantam badan meriam ditambah musik Bunga
yang diremik menambah irama sumbang yang membakar semangat pemuda-pemuda
bansir.
Dua
tiga orang sedang beristirahat sambil menyeduh kopi. Dilain sisi masih
bersemangat dengan goyangan palunya. Pembuatan marim karbit ini
lumayan memakan waktu jika dikerjakan sedikit tenaga. Apalagi jika menggunakan
kayu baru, harus di sensor dulu belum lagi melobangi tengah
mariamnya.
“Sekarang karena meriamnya hanya 3 dan menggunakan kayu yang lama, jadi pembuatan nya cepat dan santai. Kalo pake kayu baru, duhhh bisa lama dan membutuhkan banyak tenaga.” kata Ari.
“Inipun
Alhamdulillah yang bantu rame. Mungkin semangat karena tahun lalu kan tidak ada
jadinya tahun ini jadi lebih semangat” lanjut Bowo.
***
Warga setempat meyakini sejarah lama yang exis di tengah-tengah masyarakat Kota Pontianak mengenai awal mula adanya Meriam karbit. Mendengar kata Meriam karbit warga setempat pasti langsung mengaitkannya kepada Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Menurut sejarah, awal mulanya Meriam karbit digunakan untuk mengusir hantu yang sering mengganggu sultan. Dengan ide yang dikepalai oleh sultan warga setempat pun mulai memainkan meriam karbit yang masih ada hingga sekarang ini.
“Dulu Mariam karbit digunakan untuk mengusir hantu oleh Sultan Abdurrahman Alkadrie.” kata bg Kucai.
“Tapi sekarang Mariam karbit digunakan untuk memeriahkan malam takbiran saja yang diikuti dengan festival sekalian.” lanjut Angga.
Sejarah
awal adanya meriam karbit ini juga dikaitkan dengan berdirinya kota Pontianak.
Oleh sebab itu, warga setempat mengingat adanya meriam karbit beriringan dengan
terbentuknya kota Pontianak.
“Setau saya meriam karbit sudah menjadi warisan tak benda kota Pontianak Yang ditetapkan pada tahun 2016 lalu.” kata Amok selaku ketua RT kampung bansir.
Bagi
masyarakat setempat Mariam karbit telah menjadi budaya ditengah-tengah mereka.
Bukan lagi suatu ajang tahunan, mereka pun selalu antusias dalam menghidupkan
tiap dentuman kebudayaan yang dapat mengeksplor daerah mereka.
“Malam takbiran selalu jadi moment yang sangat membahagiakan. Selain besoknya akan menyambut hari kemenangan umat Islam juga pada malam itu benar-benar meriah dengan adanya meriam karbit. Orang-orang dari pelosok kota Pontianak akan datang untuk menonton.” lanjut Dedek.
Acara
yang diselenggarakan setahun sekali ini cukup dikenal khalayak ramai. Bahkan masyarakat
luar kota Pontianak mengetahui event dan turut hadir meramaikan
malam takbiran di tepian sungai Kapuas. Meriam karbit cukup luas dikenal diberbagai
wilayah.
Tanggal 5 Mei, 3 batang raksasa kebanggaan masyarakat
pesisir itu telah jadi. Pembuatan meriam yang ketiga ini cukup memakan waktu
dikarenakan sebagian pemuda harus dibagi untuk membuat panggar.
Panggar
yang berukuran 3 buah meriam itu telah siap untuk dijadikan singgasana. Beberapa
pemuda ada yang bersiap untuk menurunkan meriam kesungai untuk dibawa ke
singgasananya. Beberapa menunggu di lokasi panggar itu berada.
Belum
sampai disini. Meriam-meriam akan diperindah dengan cara dicat dan digambar.
Warna dan gambar ini pun memerlukan kesepakatan bersama sehingga menghasilkan
meriam dengan ciri khas nantinya. Bagian warna cat dan
motif Mariam ini dipegang oleh Ari sebagai penanggung jawab. Warna dan motif
meriam terkadang diselaraskan dengan ikon ikon kota Pontianak seperti corak
insang, dan lainnya. Namun terkadang juga diberi motif bebas tergantung kesepakatan.
Dengan
dibantu beberapa pemuda sehingga meriam digunakan dengan segera. Banyak yang
menyaksikan kelihaian mereka dalam melukis.
“Kali
ini kayanya motif yang simple ya?” kata salah seorang warga
“Iya, karena tidak ada festival kan jadi tidak perlu mewah motifnya.”
Disaat
festival segala sesuatu akan menjadi pertimbangan termasuk motif dari Mariam
karena merupakan satu diantara penilaian yang besar poinnya. Para pembuat
meriam akan berlomba-lomba memperindah meriam
sedemikian rupa untuk menarik perhatian pengunjung dan menambah penilaian. Tapi
sekarang berbeda, motif yang digunakan menjadi lebih sederhana.
“Ri
cat yang cukup ndak?” tanya Mamad.
“Beli warna lain aja, yang ini udah cukup.” jawab Ari.
Mamad
kali ini tak ambil andil, ia hanya memantau jika ada yang kurang-kurang. Dengan
ditemani Bang Kucai Mamad menyaksikan proses pengecatan. Antusias pemuda-pemuda
membuat warna yang dihasilkan menjadi terpancar
indah. Perpaduan hijau dan biru langit yang cerah dimalam hari ditambah
pantulan lampu LED yang terang. Hembusan asap rokok bg Kucai sesekali mengepul diwajah
Mamad, sudah biasa baginya dengan asap rokok walaupun ia sendiri tak menyentuh
rokok.
Ada
banyak warga yang menonton. Sebagian besar bapak-bapak yang menonton sambil
main kartu remi. Sesekali gelak bapak-bapak memecahkan
suasana malam. Tak lupa kopi seteko untuk berjaga malam.
“Mad,
kapan boleh di hidupin ni?” tanya salah satu bapak-bapak.
“Selesai ini dah boleh coba kita.” jawab Mamad.
“Oke, mantappp”.
Dukungan
warga setempat memang pengaruh yang paling besar dalam menyelenggarakan
kegiatan apapun. Hal ini bisa menambah semangat sekaligus merasa dihargai
keberadaan mereka. Selain itu, setiap kegiatan yang dilakukan selalu untuk
kepentingan warga. Termasuk pembuatan Mariam karbit ini.
Mulai
dari memberikan lahan untuk membuat mariam dan panggar, persetujuan, dana, kerja
sama hingga perhatian diberikan untuk kepentingan bersama. Warga tak
segan-segan menyiapkan konsumsi untuk pemuda-pemuda yang bekerja.
“Alhamdulillah,
kalo soal konsumsi Ndak perlu khawatir” kata Angga.
“Tiap malam pasti beda-beda warga yang ngasi konsumsi.” lanjut Bowo.
Selain
pemuda yang bergabung dalam kepanitiaan, ada juga pemuda-pemuda lain dan warga setempat
yang turut membantu. Mereka menganggap kegiatan ini untuk kebahagiaan bersama,
untuk memeriahkan malam lebaran bersama jadi tidak ada
alasan bagi mereka untuk tidak membantu.
Kebisingan
yang dihasilkan oleh meriam tentu saja membuat beberapa warga kesal karena
kaget, tidak bisa tidur dll. Namun ini hanyalah efek sementara yang dialami
warga. Beberapa hari kemudian mereka akan terbiasa dan menikmati tiap dentuman
Mariam karbit. Bak musik pengantar tidur, begitulah yang akan terdengar.
Suara
dentuman yang saling bersahutan itu mengantarkan Mamad dan rekan-rekannya
sampai disubuh hari. Pengecatan sudah selesai, tinggal menunggu kering dan siap
untuk digambar. Ari mengambil andil dalam mengsketsa gambar meriam. Tangannya
lihai memainkan kuas. Kelihaian ini ia dapat karena telah terbiasa menggambar
layangan. Layangan ia buat selalu menarik minat pembeli karena gambarnya yang
indah.
“Sudah biasa menggambar layangan dan kebetulan hobi saya juga menggambar.” kata Ari.
“Biasanya saya menjual sehari ada puluhan layangan dengan motif berbeda sesuai pesanan.” lanjut Ari sambil mengingat-ingat.
Mamad
memang memikirkan orang-orang yang akan bergabung dikepanitiaan ini karena akan
diberi tanggungjawab sebagai koordinator. Termasuk dalam menggambar yang ia
serahkan kepada Ari karena tahu kelihaiannya dalam memainkan kuas. Pemuda-pemuda yang dipilih memang cekatan dan rajin.
Termasuk Mamad nya sendiri yang selalu antusias, rajin, cekatan dan siap sedia
dalam keadaan apapun. Mamad tak lupa dengan keluarga kecilnya. Sesekali ia rolling
dengan bg kucai dan pulang untuk memeriksa anak dan
istrinya. Mamad memang masih tinggal bersama saudara-saudaranya tetapi jika
menyangkut menjadi seorang suami ia tetap pulang untuk melihat anak dan
istrinya.
Anak dan istrinya memiliki hari-hari tertentu untuk
melihat proses pembuatan Meriam. Pada malam-malam tertentu Echi akan membawa
anak laki-lakinya untuk melihat Abinya. Tak hanya itu pemuda-pemuda yang bertugas
juga senang dengan keberadaan anaknya. Sesekali mereka bersenda gura bersama
anak kecil berkulit putih itu. Namun sifat jailnya memang tak bisa lebas dari
Abinya, sesekali anaknya akan memukul orang yang mengganggunya.
“Sesekali saya bawa, katanya mau lihat Abinya.’ Kata
echi.
“Tidak setiap malam, karena juga saya punya pekerjaan lain. Jadi bawa sekali-sekali saja.” lanjutnya.
Mamad tidak mempermasalahkan kedatangan istri dan anaknya. Menurut orang sekitar mamad malah tambah lebih semangat jika ditemani anak dan istrinya. Energi positif memang datangnya dari keluarga sendiri. Mau sesederhana apapun bentuknya akan terasa jika itu menyangkut yang terkasih. Terlebih lagi mamad sangat menyayangi anak laki-lakinya itu. Wajar saja sifatnya banyak yang ia turunkan ke anaknya.
***
Satu hari sebelum malam takbiran Meriam-meriam yang
sudah jadi berbaris rapi dengan perpaduan warna yang singkron. Bunga-bunga yang
dilukiskan di badan Meriam itu bukan tanpa makna, bunga tersebut menandakan
kebebasan. Menurut Ari, karena ditiadakannya menyuculan Meriam karbit tahun
lalu sangat disayangkan namun memang kondisi tidak memungkinkan untuk
melaksanakannya. Sehingga tahun ini menjadi kebahagiaan bagi warga setempat.
Malam takbiran yang terjadi hanya setahun sekali itu harus dihidupkan dengan
meriah. Untuk menyambut Hari kemenangan umat islam yang telah melawan hawa
nafsunya selama sebulan.
Meriam-meriam itu beberapa kali dihidupkan untuk
dicoba. Bahan penunjang lain untuk menghidupkan Meriam adalah karbit. Karbit
menjadi bahan utama dalam hal ini. Karbit yang dilelehkan dengan air itu
ditutup menggunakan kertas basah. jika sudah memuai barulah dicucul dan
menghasilkan dentuman yang menggelegarkan sungai Kapuas.
Sahut menyahut Meriam tanda tak sabar untuk perang
sesungguhnya. Terkadang pemuda-pemuda itu juga memerangi dentuman Meriam yang
mereka hidupakan dengan Meriam orang yang tinggal diseberang kampung bansir.
Sambal menikmati dentuman-dentuman itu mereka bersorak-sorak jika bunyinya
tidak menggelegar.
“Huuu, kaya bunyi kentut.” kata salah satu pemuda menyoraki orang seberang.
“Bunyikan lagi satu Yan.” kata mamad.
Kayu yang disulut api itu tampak merona dan menyalak
ditengah malam. Ayunan tangan pemuda-pemuda yang menyuculkan Meriam tampak
sangat mahir. Tiga Mariam yang dihidupkan secara bergantian itu pun seperti
irama kemenangan yang mengembara. Sorakan-sorakan pemuda menambah irama diantara
dentuman Mariam karbit itu. Seiringan dengan itu, balasan dari Meriam seberang
pun menambah gelegar sungai Kapuas yang tenang. Begitukan sorakan pemuda yang
ada disana.
Tampak dari darat bg kucai menghampiri untuk
menghentikan permainan karena sudah terlalu larut. Bg kucai tak ingin
pemuda-pemuda yang masih setia untuk berperang itu melewatkan sahur terakhirnya
di tahun ini. Beberapa masih tersisa untuk membersihkan tempat dan disiapkan
untuk malam takbiran. Sebagian sudah pulang beriringan. Mamad memilih untuk
tinggal sampai segala sesuatu telah selesai.
"Mad, duluan," kata Bang Kucai sambal melambai.
"Sip Bang, hati-hati," jawab Mamad
Tidak cukup jauh, tempat tinggal pemuda-pemuda itu
saling berdekatan. Sehingga mereka pulang bersama-sama. Hal ini jugalah
orangtua mereka tak mengkhwatirkan jika mereka pulang begitu larut. Langkah
mereka begitu riuh diatas gertak yang telah diselimuti semen itu.
Tanggal 11 pukul 7 malam. Panitia Nampak sibuk
menyiapkan dan mendekorasi panggar Meriam dengan lampu-lampu seri tak lupa
bendera-bendera dipinggirnya. Pengunjung belum ramai bahkan terlihat baru warga
setempat yang menonton.
Dentuman-dentuman Meriam pun begitu bersemarak
beriringan dengan takbiran. Pesisir sungai Nampak berkelap-kelip dengan
kapal-kapal hiburan yang lewat. Belum lagi ledakan kembang api, seakan tak
diberi celah untuk tanpa keindahan. Anak-anak kecil sudah memenuhi jalan dengan
baju barunya.
Pengunjung yang ingin menyucul Meriam biasanya harus
bayar terlebih dahulu terkecuali warga setempat. Hal ini dilakukan untuk
menimbal balik tenaga pemuda-pemuda yang sudah mau bekerja ditambah lagi
pengunjung yang banyak.
Jalanan yang telah di semen itu sudah mulai penuh
dengan pengunjung yang berlalu Lalang berbagai macam gaya entah darimana
asalnya. Ada yang sekarang berjalan-jalan dipesisir sungai, ada yang berhenti
untuk menonton penyuculan Meriam. Malam takbiran di pesisir sungai Kapuas memang
sangat meriah. Hal ini telah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu. Makanya
sangat disayangkan jika ditiadakan lagi penyuculan Mariam karbit ini.
Dari kejauhan Nampak keluarga kecil yang saling
berpegangan di kerumunan orang-orang. Mamad dan anak isitrinya yang berjalan
untuk menonton Meriam karbit. Setiap tahun mamad selalu membawa anak istrinya
jalan-jalan dimalam takbiran. Kebersamaan ini adalah moment berharga untuknya
dan juga anak istrinya. Sesekali mereka berhenti untuk membeli cemilan yang berjuaklan
disepanjang jalan. Echi harus ekstra menjaga anaknya dikarenakan kondisi yang
ramai dan juga berada di atas sungai. Mereka pun berhenti di kursi yang
disediakan untuk menonton Meriam. Mamad sesekali menghampiri panitia yang
bertugas dan membantu sedikit-sedikit. Karena malam takbiran telah ditentukan
panitia yang bertugas.
“Umi, kapan dihidupkan meriamnya.” suara imut anaknya bertanya.
“Sebentar lagi dihidupkan, dedek jangan takut ya.” jawabnya pelan.
Suasana Bahagia menghampiri keluarga kecil ini. Mungkin
juga seluruh orang yang turut meriahkan malam takbiran ini. Malam kemenangan
telah tiba bagi umat islam. Rona sendu nan teduh dimalam itu begitu tampak
mengarungi wajah-wajah mereka.
Dari jauh tampak keluarga Mamad mulai turun untuk
berjalan-jalan nonton. Mereka pun duduk bersama anak dan istri mamad. Mamad yang
melihat kehadiran keluarganya pun langsung menghampiri anak, istri dan
keluarganya. Mereka tampak berbahagia karena bisa dihitung jari bagi mereka
berjalan bersama-sama seperti ini. Keluarga Mamad kembali melanjutkan
perjalanan mereka untuk menyusuri pesisir sungai Kapuas.
Tinggalah Mamad dan anak istrinya. Tiada gangguan
mereka menikmati malam itu dengan kebahagiaan. Tak lupa pula berfoto untuk
kenang-kenangan. Dengan menjulurkan handphone ditangannya. Dan mulai
melakukan selfie.
“1..2..3.. cisss”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar